BREAKING NEWS: Eks Sekretaris MA Nurhadi Diduga Pukul Petugas Rutan KPK, Ini Kronologinya
Eks Sekretaris MA Nurhadi diduga melakukan pemukulan kepada seorang petugas rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA), eks Sekretaris MA Nurhadi diduga melakukan pemukulan kepada seorang petugas rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan peristiwa tersebut terjadi, Kamis (28/1/2021) pukul 16.30 WIB.
Petugas dipukul Nurhadi di Rutan Ground A C1 KPK.
"Benar diduga telah terjadi tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh tahanan KPK atas nama NHD (Nurhadi) kepada salah satu petugas rutan KPK," kata Ali melalui keterangannya, Jumat (29/1/2021).
Baca juga: Penyuap Nurhadi Bantah Dakwaan Jaksa KPK, Sebut 21 Transaksi Tak Terkait Suap
Ali menjelaskan, penganiayaan ini diduga terjadi karena kesalahpahaman Nurhadi terkait adanya penyampaian penjelasan sosialisasi oleh petugas rutan KPK itu mengenai rencana renovasi salah satu kamar mandi untuk tahanan.
Baca juga: Terungkap di Pengadilan, Aliran Suap Rp 45,7 M dari Dirut PT MIT ke Eks Sekretaris MA Nurhadi
Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan Nurhadi, imbuhnya, turut disaksikan petugas rutan KPK lainnya.
"Pihak rutan KPK akan melakukan tindakan pemeriksaan sesuai mekanisme yang berlaku terhadap tahanan dimaksud. Perkembangan hal ini akan kami sampaikan lebih lanjut," kata Ali.
Suap untuk urus 2 perkara
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta beragenda pembacaan dakwaan terhadap Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto, Jumat (22/1/2021), terungkap tujuan suap dilakukan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Hiendra menyuap Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono Rp45,7 miliar, tepatnya Rp45.726.955.000.
Dalam surat dakwaannya, jaksa menyatakan pemberian suap itu dimaksudkan agar Nurhadi dan Rezky Herbiyono mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN), terkait gugatan perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi, dan 26.800 meter persegi, dan gugatan melawan Azhar Umar terkati sengketa kepemilikan saham PT MIT.
"Telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Gina Saraswati selaku jaksa KPK di persidangan.
"Yaitu memberikan uang sejumlah Rp45.726.955.000 kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu kepada Nurhadi selaku Sekretaris MA tahun 2012 - 2016 melalui Rezky Herbiyono, dengan maksud supaya pengawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," jelas Gina.
Baca juga: Menantu Nurhadi Disebut Sudah Kembalikan Uang Rp35 Miliar ke Hiendra Soenjoto
Jaksa menyatakan upaya pengurusan perkara itu bertentangan dengan kewajiban Nurhadi selaku penyelenggara negara sebagaimana dimaksud Pasal 5 angka 4 dan 6 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Adapun praktik penyuapan pengurusan perkara - perkara tersebut disamarkan lewat perjanjian kerjasama berkenaan dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) antara Hiendro dengan menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.
"Pemberiannya disamarkan seolah-olah ada perjanjian kerjasama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) antara terdakwa dengan Rezky Herbiyono," katanya.
Hiendra menyuap Nurhadi karena dianggap punya kekuasaan dan kewenangan dalam mengupayakan pengurusan perkara - perkara tersebut.
Atas perbuatannya, Hiendra diancam pidana dalam Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korups juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.