Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PAN Minta Mahkamah Agung Proses PK  Sengketa Pilkada Bandar Lampung

Pangeran menilai keputusan KPU Bandar Lampung itu sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in PAN Minta Mahkamah Agung Proses PK  Sengketa Pilkada Bandar Lampung
istimewa
Khairul Saleh. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh menyayangkan putusan Mahkamah Agung yang menganulir keputusan KPU Bandar Lampung SK No. 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana dan Deddy Amarullah, pasangan nomor urut 03.

Pangeran menilai keputusan KPU Bandar Lampung itu sudah sesuai dengan rekomendasi Bawaslu Bandar Lampung.

"Bawaslu Bandar Lampung sudah yakin adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," kata Pangeran melalui keterangannya, Rabu (10/2/2021).

Baca juga: Peneliti LIPI Usulkan Pilkada Digelar 2022, Tidak Disatukan dengan Pilpres dan Pileg

"Disinyalir juga  terjadi pengerahan ASN dari mulai camat, lurah, RT dan Linmas di 11 kecamatan se-Kota Bandar Lampung, dan pembagian uang kepada kader PKK menjelang hari pemilihan," ucap Pangeran.

Namun demikian, Pangeran menghormati seluruh upaya hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait selama masih dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Termasuk upaya paslon 03 yang melakukan kasasi ke MA, sehingga MA mengeluarkan putusan yang menganulir keputusan KPU.

Berita Rekomendasi

Sekalipun demikian, terkait sengketa pemilihan ini, Pangeran menilai bahwa peraturan MA  tersebut perlu ditinjau kembali.

Dalam hal ini adalah Pasal 24 Peraturan MA Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan: "Putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali".

Ketentuan itu, menurutnya bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni misalnya, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Baca juga: Hari Ini, Komisi II Bakal Bahas Pilkada Aceh 2022 Bersama DPR Aceh

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Jika dikatakan Perma No. 11 Tahun 2016 itu pengecualian dalam arti lex specialis. Memang, dalam kamus hukum terdapat asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.

Namun, menurutnya, yang perlu ditekankan salah satu prinsip lex specialis ini adalah ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis.

"Artinya, undang-undang harus dengan undang-undang."

"Dengan demikian, tidak boleh ada peraturan turunan yang melanggar ketentuan undang-undang. Perma MA No 11 Tahun 2016 ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas