Pengamat Intelijen dan Terorisme: Pemerintah Perlu Libatkan Influencer Muda Lawan Narasi Radikal
Menurutnya, Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi perlu mengajak Atta untuk membuat konten-konten kontra narasi radikal.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat intelijen dan terorisme dari Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai pemerintah perlu melibatkan influencer-influencer muda dari kelompok moderat untuk melakukan kontranarasi terhadap paham radikal yang marak beredar di media sosial.
Dalam hal ini ia mencontohkan influencer Atta Halilintar.
Meskipun konten-konten yang saat ini diproduksi Atta bisa diperdebatkan terkait disukai atau tidak disukainya, namun faktanya kata Ridlwan saat ini Atta memiliki 18 juta pengikut di akun Instagramnya dan 26,9 juta pelanggan di akun Youtubenya.
Menurutnya, Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi perlu mengajak Atta untuk membuat konten-konten kontra narasi radikal.
Baca juga: Ikut-ikutan Beli Saham Arahan Influencer Juga Bentuk dari Bunuh Diri
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Online bertajuk Anak Muda dan Terorisme yang digelar Partai Solidaritas Indonesia pada Senin (5/4/2021).
"Atta jangan cuma dihadiri nikahannya sama Aurel dihadiri sama Jokowi dan Prabowo sampai dibully netizen. Barter konten dong. Jadi kalau Jokowi datang, Atta bikin konten, isinya apa? Bilang ke followernya yang jutaan itu, mati bawa bom di gereja itu mati masuk neraka, mati menembakan pakai air soft gun itu mati konyol," kata Ridlwan.
Ridlwan berpendapat saat ini negara belum masuk ke dalam strategi deradikalisasi semacam itu.
Baca juga: Sinopsis Film Looper: Misi Pembunuh Bayaran Menggunakan Teknologi Perjalanan Waktu
Karena menurutnya, saat ini pola deradikalisasi negara masih cenderung berbentuk seminar-seminar yang cenderung kurang menarik bagi anak muda.
Padahal, kata dia, anak muda saat ini cenderung mencari aktualisasi diri lewat media sosial.
"Dan itu sangat penting untuk operasi deradikalisasi di media sosial. Yang dilakukan negara sayangnya belum ke situ," kata Ridlwan.