DPR Dukung Pasal Penghinaan Presiden di RKHUP, Demokrat Singgung soal Kasus 'Kerbau' SBY
Pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP kembali menjadi polemik belakangan ini.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Digoreng
Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan heran masih ada pihak-pihak yang menolak aturan tersebut.
"Menghina kepala negara dari negara sahabat di republik ini, di kitab yang sama, ini dihukum. Malah menghina presiden sendiri enggak dihukum, ini kan logika berpikirnya kan enggak ada," kata dia.
Baca juga: Arsul Sani: Wajar Jika RUU KUHP Atur Pasal Penghinaan Presiden, Asal Tak Tabrak Putusan MK
Anggota Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyindir para pakar hukum yang menolak pasal tersebut.
Menurut dia, seharusnya yang lebih pantas menjelaskan mengenai polemik pasal penghinaan presiden ini adalah anggota dewan yang membahas RKUHP ini.
"Saat digoreng, kami mohon, kalau digoreng itu teman-teman nanyanya ke DPR yang buat UU. Jangan ngambil akademisi atau yang lain, percuma. Itu jadi objek nyari duit. Sudahlah buang-buang duit, hasilnya tidak pas," tegasnya.
Dukungan menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden juga disampaikan anggota Fraksi PPP Arsul Sani.
Menurut dia, negara-negara lain juga memiliki aturan yang ketat mengenai penghinaan terhadap presiden atau penguasa.
Artinya, pasal penghinaan terhadap presiden merupakan sebuah kewajaran. Ia berpendapat bahwa selaiknya pasal tersebut tetap dipertahankan.
"Berdasarkan benchmarking, pasal terkait penghinaan pada presiden, wapres dipertahankan. Tantangan kita adalah agar bagaimana tidak menabrak putusan MK (Mahkamah Konstitusi)," jelas Arsul.
Sementara anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Habiburokhman mengusulkan agar pasal penghinaan presiden itu dialihkan ke ranah perdata, bukan pidana.
"Ini terkait substansi, saya ini pegel juga selalu ditanyakan pasal 218 RUU KUHP, penghinaan presiden. Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa paling benci pasal ini," ujar Habiburokhman.
"Saya rasa kalau ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif," imbuhnya.
Politikus Gerindra itu mengungkap pasal penghinaan presiden ini sebaiknya dibawa ke ranah perdata sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara tersebut.
Karena, kata Habiburokhman, kedua institusi itu berada di rumpun eksekutif sehingga dapat digunakan untuk melawan orang yang berseberangan dengan kekuasaan.
"Selama ini masih dalam ranah pidana, tujuan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya," jelas Habiburokhman.
"Karena apa? Karena kepolisian dan kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif, jadi kaitannya itu," imbuhnya.(tribun network/dit/dod)