Pengamat Nilai Faktor Hinaan Masyarakat Meringankan Vonis Hakim Baru Pertama Terjadi di Indonesia
Pengamat menilai faktor hinaan masyarakat bisa meringankan vonis hakim baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari, ikut menanggapi terkait ramainya faktor hinaan masyarakat yang meringankan hukuman dari mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus suap dana bansos Covid-19.
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini, faktor meringankan hukuman karena dihina masyarakat baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia.
Feri pun mempertanyakan pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman dari suara publik di media sosial.
Baca juga: MAKI Nilai Hinaan Masyarakat Harusnya jadi Pemberat Vonis Juliari: Karena Melukai Rasa Keadilan
"Saya pikir soal bully (jadi faktor meringankan hukuman, red) ini pertama, bukan hanya di Indonesia tapi mungkin di dunia."
"Yang melalui medsos jadi bahan pertimbangan dan alat ukurnya jadi tidak jelas," kata Feri, dikutip dari tayangan Youtube Kompas TV, Rabu (25/8/2021).
"Misalnya bagaimana kalau yang membully buzzer semua, apakah itu menjadi pertimbangan dari hakim untuk memberikan keringanan? Saya merasa tidak sesuai," tambah Feri.
Menurutnya, dalam kasus suap yang dilakukan Juliari, ada banyak faktor yang justru bisa memberatkan vonis hakim.
Oleh karena itu, Feri merasa heran karena hakim justru mencari-cari peluang yang bisa meringankan terdakwa.
"Padahal kalau mau mencari hal yang memberatkan, jauh lebih nyata buktinya yang bisa digunakan hakim."
"Tapi malah dicari-cari hal yang meringankan yang kemudian tidak lepas dari kejahatan yang telah dilakukan," ujar Feri.
Di sisi lain, Feri juga menyoroti pertimbangan suara publik yang dijadikan alasan meringankan di masa depan.
Ia khawatir, alasan tersebut justru bisa digunakan kembali untuk meringankan hukuman bagi para koruptor.
"Tentu dengan perseptif hakim mempertimbangkan publik di dunia maya, suatu waktu, orang bisa menggunakannya untuk dikapitalisasi meringankan hukuman para koruptor."
"Makanya saya katakan alat ukurnya tidak terang benderang bagi hakim untuk menilai," jelas Feri.
Feri pun kembali mempertanyakan keterkaitan kepantasan seseorang mendapat keringanan dari suara publik di media sosial.
Sebab, ia tidak meyakini apakah hakim yang memberi keputusan, benar-benar melihat langsung perbincangan publik di media sosial.
Baca juga: Hinaan Masyarakat Ringankan Hukuman Juliari Batubara, Majelis Hakim Tuai Kritik Sejumlah Pihak
Untuk itu, Feri menegaskan, adanya putusan hinaan masyarakat dijadikan alat untuk meringankan hukuman justru terkesan janggal.
"Apakah seseorang patut diringankan hukumannya karena suara publik di medsos? Dan apakah hakim betul-betul menyimak perbincangan di medsos?"
"Kenapa publik mempertanyakan sikap dan tindakan Juliari Batubara yang mendapatkan keringanan hukuman?"
"Jadi memang ini agak aneh cara hakim mencoba mencari, peluang, meringankan terdakwa, karena menurut saya kalau dicari-cari akhirnya akan menjadi janggal," tegasnya.
Vonis 12 Tahun Penjara hingga Hal-hal yang Meringankan Hukuman
Diketahui, mantan Menteri Sosial RI, Juliari P Batubara resmi divonis selama 12 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (23/8/2021).
Selain mendapat kurungan pidana, Juliari juga di denda Rp 500 juta dengan subsider enam bulan kurungan penjara.
"Menyatakan terdakwa Juliari P Batubara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut."
"Dan menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun dan pidana denda sejumlah Rp500 juta rupiah, dengan ketentuan apalabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata majelis hakim, dikutip dalam tayangan Youtube Kompas TV, Senin (23/8/2021).
Selain itu, Juliari juga dituntut pidana pengganti sebesar Rp 14,5 miliar untuk kerugian negara.
Baca juga: Hakim Bacakan Vonis Hari Ini, KPK Yakin Juliari Dihukum 11 Tahun Penjara
Sekaligus, hak politik dari politisi PDI Perjuangan tersebut dicabut selama 4 tahun.
Adapun, majelis hakim menyebut Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001.
Vonis 12 tahun penjara ini lebih berat dibanding tuntutan Jaksa KPK, karena sebelumnya Juliari dituntut 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Artinya, vonis majelis hakim pada hari ini membuktikan harapan Juliari agar divonis bebas telah pupus.
Di sisi lain, dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan.
Untuk hal yang memberatkan, perbuatan Juliari dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hakim juga menilai Juliari berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya.
Perbuatan terdakwa dilakukan pada saat kondisi darurat pandemi Covid-19.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab."
"Bahkan menyangkali perbuatannya," kata hakim ketua Muhammad Damis saat membacakan amar putusan Juliari di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8/2021), dikutip dari Tribunnews.
Sementara itu, untuk hal meringankan, Juliari disebut belum pernah menjalani hukuman sebelumnya.
Baca juga: KPK Bantah Hukum Juliari 12 Tahun Penjara Karena Tuntutan Jaksa
Hakim menilai Juliari sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat.
Menurut hakim, Juliari telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Selama persidangan kurang lebih empat bulan terdakwa hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, " kata hakim Damis.
(Tribunnews.com/Maliana/Theresia Felisiani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.