Profil Jenderal Hoegeng Imam Santoso, Kapolri di Era Soeharto yang Berani Lawan Suap dan Korupsi
Berikut ini profil Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang jujur dan pemberani yang menjabat pada 1968-1971 di era Presiden Soeharto.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
- Bintang Kartika Eka Paksi I
- Bintang Jalasena I
- Bintang Swa Buana Paksa I
- Satya Lencana Sapta Marga
- Satya Lencana Perang Kemerdekaan (I dan II)
- Satya Lencana Peringatan Kemerdekaan
- Satya Lencana Prasetya Pancawarsa
- Satya Lencana Dasa Warsa
- Satya Lencana GOM I
- Satya Lencana Yana Utama
- Satya Lencana Penegak
- Satya Lencana Ksatria Tamtama.
Jenderal Hoegeng Imam Santoso dan Keberaniannya
Jenderal Hoegeng dikenal dengan keberanian dan kejujurannya menumpas kasus-kasus suap.
Menurut laman Kemenkeu, Jenderal Hoegeng adalah sosok yang tegas dan selalu waspada ketika menjalankan misi pembersihan paham Komunis dalam tubuh AKRI.
Ia tidak segan menahan rekan sesama militer yang terlibat dalam PKI.
Jenderal Hoegeng juga dikenal sebagai tokoh yang rendah hati.
Ia tidak menyombongkan diri kepada rakyat.
Sosoknya yang rendah hati menjadi tauladan bagi masyarakat.
Jenderal Hoegeng memiliki prinsip yang kuat untuk tidak menerima suap maupun korupsi.
Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menerima suap atau korupsi.
Dia pernah dirayu oleh seorang pengusaha yang terlibat kasus penyelundupan agar kasus tersebut tak dilanjutkan ke pengadilan.
Namun, Jenderal Hoegeng tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua tetap akan diproses secara hukum.
Pengusaha tersebut bahkan memberi hadiah mewah ke alamat rumah Jenderal Hoegeng.
Semua pemberian dari pengusaha tersebut ditolak mentah-mentah dan langsung dikembalikan oleh Jenderal Hoegeng.
Baca juga: Sosok Jenderal Hoegeng di Mata Putranya dan HT Kepolisian yang Aktif 24 Jam, Dibawa Tidur
Ketika ia ditugaskan di Medan, Sumatera Utara, Hoegeng mendapat tugas memberantas penyeludupan dan perjudian di daerah tersebut.
Ia dijemput oleh seorang utusan dari bandar judi di Pelabuhan Belawan dan mengatakan mereka sudah menyiapkan mobil dan rumah untuk Hoegeng.
Namun, Hoegeng dengan halus menolak tawaran tersebut dan memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.
Setelah rumah dinas tersebut tersedia, di dalamnya sudah ada berbagai barang mewah mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal.
Jenderal Hoegeng langsung memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan semua barang itu dari rumahnya.
Bagi Jenderal Hoegeng, sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia adalah harga mati.
Teladan yang dapat diambil dari Jenderal Hoegeng juga tentang kerendahan hatinya terhadap masyarakat dan anak buahnya.
Ia masih turun ke jalan mengatur lalu lintas di perempatan, meski dirinya sudah menjadi Kapolri dengan pangkat Jenderal bintang empat.
Jenderal Hoegeng berpendapat, seorang polisi adalah pelayan masyarakat yang tugasnya adalah mengayomi masyarakat, tidak peduli seberapa tinggi pangkatnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Biografi Tokoh Nasional