Politikus PKS Desak Pemerintah Buktikan Tak Ada Penumpang Gelap dalam Kebijakan Tes PCR
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani meminta pemerintah membongkar praktik mafia tes PCR.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani meminta pemerintah membongkar praktik mafia tes PCR.
Menurut dia, pemerintah harus membuktikat tidak ada penumpang gelap dalam memberlakukan kebijaka tes PCR.
"Asumsi publik ini harus dijawab oleh pemerintah. Buktikan bahwa memang tidak ada motif bisnis buktikan tidak ada penumpang gelap pemberlakuan kebijakan test PCR," kata Netty kepada Tribunnetwork, Senin (1/11/2021)
Menurutnya bahwa pemberlakuan PCR di moda transportasi udara pekan lalu jelas ada permainan bisnis.
Tidak heran PCR menjadi perbincangan hangat netizen di media sosial.
"Apalagi sekarang maskapai sekarang bangkunya sudah boleh terisi 100 persen. Jadi kalau kemudian kita hitung kalau 100 persen berapa jumlah kursinya dan dikalikan test PCR-nya," ucap Netty.
Baca juga: Harga Tes PCR Terbaru: Jawa-Bali Rp 275.000 dan Luar Jawa-Bali Rp 300.000
Terpisah, Politisi senior PKS Muhammad Nasir Djamil upaya pemberantasan mafia PCR ini didukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal kebal hukum dalam Perppu corona.
MK telah membatalkan ketentuan soal impunitas bagi pejabat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
"Putusan MK ini menghancurkan tembok tebal kebal hukum yang dijadikan tempat berlindung dalam pengelolaan keuangan negara dalam mengatasi pandemi Covid-19," kata Nasir.
Ketentuan tentang impunitas atau kondisi tidak dapat dipidana bagi pejabat dalam rangka penanganan Covid-19 itu ada pada Pasal 27 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020.
Baca juga: Syarat Perjalanan Darat 250 Km: Wajib Bawa Sertifikat Vaksin dan Hasil Antigen/PCR
Ketentuan itu memerinci pihak-pihak yang tak dapat diperkarakan secara perdata maupun pidana ialah anggota, sekretaris, dan pegawai sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Menurut Nasir, keputusan MK tersebut membuat pejabat negara bisa digugat jika dalam penggunaan anggaran dana untuk penanganan Covid-19 ini mengalami penyimpangan.
"Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan institusi penegak hukum sekarang dapat masuk melakukan penyelidikan," tambahnya.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan M Isnur menyoroti soal penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah.