Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Kejaksaan Agung Tanggapi Nota Pembelaan Terdakwa Heru Hidayat Soal Tuntutan Hukuman Mati

Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengungkapkan alasan menuntut hukuman mati terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) Heru Hidayat.

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Kejaksaan Agung Tanggapi Nota Pembelaan Terdakwa Heru Hidayat Soal Tuntutan Hukuman Mati
KOMPAS.COM
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simajuntak 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengungkapkan alasan menuntut hukuman mati terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) Heru Hidayat.

Menurut Leo, tindakan korupsi Heru Hidayat telah merugikan keuangan negara hingga Rp22,7 triliun.

Hal ini dinilai menciderai rasa keadilan di masyarakat.

"Nilai kerugian keuangan negara dan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh di luar nalar kemanusiaan dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Leonard dalam keterangannya, Kamis (16/12/2021)

Heru Hidayat, kata Leo, juga telah terbukti bersalah dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Dengan kata lain, terdakwa Heru Hidayat dinyatakan bersalah di dua kasus korupsi sekaligus.

Dijelaskan Leo, negara mengalami kerugian mencapai Rp16,8 triliun dengan jumlah uang yang dinikmati Heru Hidayat sebesar Rp10,7 triliun.

Baca juga: Jaksa Agung: Hukuman Mati Bagi Koruptor untuk Efek Jera dan Cegah Kasus Korupsi Terulang

Berita Rekomendasi

"Bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa Heru Hidayat baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan 'berulang-ulang'," tutur Leonard.

"Melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrumen pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam sistem pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas," tambahnya.

Leo menambahkan Heru Hidayat juga telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi.

Dia juga dinilai terlibat sindikat kejahatan yang luar biasa dan tak pandang bulu.

Di sisi lain, Leo menuturkan Heru Hidayat tak memiliki empati dan tidak kooperatif untuk mengembalikan hasil kejahatannya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.

Baca juga: Bacakan Replik, Jaksa Tanggapi Pleidoi Heru Hidayat Soal Tuntutan Hukuman Mati dalam Kasus Asabri

"Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikit pun atas pebuatan yang telah dilakukannya," pungkas dia.

Diketahui, pada persidangan Senin (13/12/2021) ini, Heru Hidayat bersama kuasa hukumnya telah menyampaikan nota pembelaan alias pleidoi atas tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum (JPU).

Pleidoi dari Heru Hidayat sendiri disampaikan secara tertulis kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, sedangkan pleidoi dari tim kuasa hukum dibacakan langsung dalam persidangan.

Dalam pleidoinya, Heru menyatakan, pasal yang dituntut oleh jaksa kepada dirinya dalam perkara ini menyimpang. Sebab pasal tersebut tidak sesuai dengan apa yang didakwakan jaksa kepada dirinya.

Baca juga: Jaksa Agung Jelaskan Alasan Pihaknya Jatuhkan Hukuman Bagi Para Koruptor

"Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak pernah dicantumkan dalam Surat Dakwaan kepada saya, bahkan sejak awal mula Peyidikan perkara ini, pasal tersebut tidak pernah disertakan," kata Heru dalam pleidoinya, Senin (13/12/2021).

Sebagai informasi, dalam dakwaannya jaksa menyatakan Heru diancam melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Saat jaksa menjatuhkan tuntutan, Heru dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana hukuman mati.

Padahal dalam Undang-Undang No.31 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ancaman hukuman mati itu tertuang di Pasal 2 ayat (2).

Baca juga: SOSOK ST Burhanuddin, Jaksa Agung yang Ingin Para Koruptor Mendapat Hukuman Mati Supaya Jera

"Sementara ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor hanya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Lalu kenapa mendadak dalam Surat Tuntutan Jaksa menuntut mati ? Sementara dalam poin 1 amar Tuntutannya Jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," ucap Bayu.

Atas hal itu, Heru menilai, tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada dirinya adalah suatu bentuk kezaliman karena tidak sesuai dengan koridor dalam dakwaan.

Padahal kata dia, dakwaan yang dijatuhkan oleh setiap jaksa dalam perkara apapun merupakan pedoman jaksa untuk menjatuhkan tuntutan, serta pedoman dari majelis hakim untuk memutus perkara.

"Bukankah yang membuat persidangan ini ada adalah karena Surat Dakwaan Jaksa ? Sehingga jelas dalam perkara ini Jaksa telah melakukan Tuntutan diluar koridor hukum dan melebihi wewenangnya," tukas Heru.

Diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana terhadap pihak swasta dalam hal ini Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat.

Pembacaan tuntutan itu dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa Heru secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama dan dakwaan kedua primer dari Jaksa.

"Menyatakan terdakwa Heru terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer pasal Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata jaksa dalam persidangan, Senin (6/12/2021).

"Serta, pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," lanjut jaksa.

Atas hal itu, jaksa menjatuhkan tuntutan terhadap Heru yang dinilai melakukan tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime dengan pidana hukuman mati.

Baca juga: Dituntut Hukuman Mati dalam Kasus Asabri, Heru Hidayat Bacakan Nota Pembelaan Hari Ini

Penjatuhan tuntutan ini juga dilayangkan jaksa mengingat karena Heru juga merupakan terpidana pada kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang telah merugikan negara Rp 16 Triliun, dimana dia divonis hukuman seumur hidup.

"Kami menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terhadap terdakwa Sony Wijaya untuk memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat dengan hukuman mati," tuntut jaksa.

Tak hanya menjatuhkan tuntutan hukuman pidana, jaksa juga menuntut Heru untuk membayar uang pengganti yang telah dinikmati atas perbuatannya yakni senilai Rp 12,6 Triliun.

Jika tidak mampu membayar uang pidana pengganti tersebut maka seluruh harta benda Heru akan disita untuk menutupi pidana uang pengganti.

"Membayar uang pengganti sebesar Rp12,64 triliun dengan ketentuan tidak dibayar sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk uang pengganti tersebut," ucap jaksa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas