Tiap Hari 35 Perempuan jadi Korban, Komnas Perempuan Menyayangkan Batalnya Penetapan RUU TPKS
(Komnas Perempuan) sangat menyayangkan proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang tersendat sehingga belum ditetapkan sebaga
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sangat menyayangkan proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang tersendat sehingga belum ditetapkan sebagai agenda rapat paripurna sebagai usul inisiatif DPR RI.
Padahal, penetapan ini telah dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban.
"RUU ini merupakan titian untuk mewujudkan perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan upaya memutus keberulangan di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam keterangan tertulis, Jumat (17/12/2021).
Siti Aminah menambahkan, urgensi kehadiran payung hukum bermula dari tingginya angka kekerasan seksual dalam rentang waktu sepanjang 2001-2011.
Selama dasawarsa tersebut, 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual.
Setiap hari, sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual, Politisi NasDem Sayangkan RUU TPKS Tak Diparipurnakan Hari Ini
"Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual," ucap Siti Aminah.
Sepanjang menunggu pengesahan RUU ini (2012-2020) CATAHU Komnas Perempuan mencatat terlaporkan 45.069 kasus kekerasan seksual.
Selain dapat dilihat secara jumlah, darurat kekerasan seksual juga dapat dilihat dari maraknya kasus pemberitaan kekerasan seksual di media massa.
Peningkatan dan kompleksitas kasus-kasus kekerasan seksual yang diadukan tidak diimbangi dengan undang-undang yang mampu menghambat perkembangan kualitas dan kuantitas kekerasan seksual, serta ketiadaan jaminan hak-hak korban dan reviktimisasi selama menempuh jalur hukum.
Tentunya, hal ini yang menyebabkan korban tidak terpenuhi hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Hak-hak korban sebagaimana dimandatkan Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional khususnya Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah menjadi bagian dalam hukum nasional melalui UU No. 7 Tahun 1984.
"Komnas Perempuan mengingatkan bahwa periode DPR 2014-2019 RUU ini pernah dibahas dengan pemerintah namun sampai akhir periode tidak berhasil menyetujui satu pun isu dalam daftar investaris masalah (DIM) RUU P-KS. Akibatnya, RUU P-KS tidak dimasukkan sebagai RUU carry over melainkan harus dimulai dari awal," paparnya.
Baca juga: Batal Hari Ini, RUU TPKS Ditetapkan di Awal Masa Sidang 2022, Ketua DPR: Ini Hanya Masalah Waktu
Siti mengatakan, salah satu faktornya adalah, kepentingan hak-hak korban tidak ditempatkan sebagai isu pokok pembahasan. Sedangkan mispersepsi, miskonsepsi dan prasangka terhadap substansi RUU P-KS saat itu merebak diberbagai ruang dan media sosial turut mempengaruhi pembahasan di Panja Komisi 8 DPR RI.
Kondisi ini masih berlanjut terhadap RUU tersebut hingga sekarang, yang namanya diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Kondisi yang semakin menjauhkan upaya mewujudkan payung hukum bagi korban kekerasan seksual.
Atas belum ditetapkannya RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI, Siti mengatakan, pihaknya menyatakan mengapresiasi kerja Panja RUU TPKS yang sudah melakukan pengkajian dan harmonisasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Mendesak Pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022," ucapnya.
Kemudian, ia berterima kasih kepada para penyintas, keluarga korban, akademisi, media massa dan lembaga layanan korban yang tak pernah putus dan tanpa lelah terus memperjuangkan RUU TPKS dan menyerukan agar terus memberikan masukan pengalaman korban dan mengawal pembentukan RUU ini hingga tahap pembahasan dan pengesahan.
"Mendorong publik untuk terus mengawal dan mendukung Badan Musyawarah/ Pimpinan DPR RI menetapkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai RUU Inisiatif DPR dalam pembukaan masa sidang paripurna DPR RI Januari Tahun 2022," tutupnya.