KPK Ungkap Peran Eks Dirut Perum PNRI Isnu Edhy Wijaya Dalam Kasus Korupsi e-KTP
KPK membeberkan konstruksi perkara yang menjerat Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia Isnu Edhy Wijaya (ISE).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
"Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan tersebut, Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar 5% dari jumlah pekerjaan yang diperoleh," katanya.
Baca juga: KPK Sayangkan Permintaan Tito Tak Dilibatkan di Kasus Dana PEN
Lili menuturkan, ada rentang waktu antara April sampai dengan Juni 2011, Paulus, Isnu, dan pihak-pihak vendor dalam konsorsium melaksanakan beberapa pertemuan untuk membahas harga barang dan margin keuntungan yang diharapkan, sehingga bisa diajukan harga penawaran.
"ISE bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp5,8 triliun," tuturnya.
Kemudian, pada 30 Juni 2011, Sugiharto menunjuk konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP elektronik) tahun anggaran 2011-2012.
Untuk melaksanakan kontrak tersebut, Isnu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Isnu juga mengusulkan adanya ketentuan setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan yang dilakukan oleh anggota konsorsium akan dipotong 2% sampai 3% dari jumlah pembayaran untuk kepentingan manajemen bersama.
"Padahal di dalam rincian penawaran senilai Rp5,8 triliun tidak ada komponen tersebut dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan," ujar Lili.
Lili berujar, hasil pemotongan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran dan juga digunakan untuk operasional Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Pemotongan sebesar 3% tersebut pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri.
"Semua pekerjaan dalam kontrak tersebut tidak dapat disubkontrakkan kecuali terdapat izin secara tertulis dari Sugiharto selaku PPK. Namun konsorsium PNRI terbukti mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto. Selain itu, dalam pelaksanaannya konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak," ujarnya.
KPK pada sekitar Agustus 2019 telah mengumumkan empat tersangka baru dalam perkara ini.
Mereka yaitu Miryam S Haryani, anggota DPR RI 2014-2019; Paulus Tanos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra; Isnu Edhy Wijaya, Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia; dan Husni Fahmi, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, PNS BPPT.
Dalam perkara korupsi e-KTP ini, kerugian keuangan negara negara kurang lebih sebesar Rp2,3 triliun.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.