Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fraksi PKS: Revisi UU PPP Jangan Sekadar Jadi Stempel Omnibus Law Cipta Kerja

PKS minta Revisi kedua atas UU No 12 tahun 2011 jangan sekadar dijadikan stempel bagi disahkannya UU Cipta Kerja.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Fraksi PKS: Revisi UU PPP Jangan Sekadar Jadi Stempel Omnibus Law Cipta Kerja
Andri/Man (dpr.go.id)
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI meminta pembahasan revisi kedua atas Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dilakukan secara hati-hati. 

Fraksi PKS juga meminta revisi ini jangan sekadar dijadikan stempel bagi disahkannya UU Cipta Kerja.

Tapi sebagai upaya memperkuat sistem pembentukan perundang-undangan yang kredibel, akuntabel dan akseptabel. 

Baca juga: Dunia Usaha Masih Optimistis Sambut Penyempurnaan UU Cipta Kerja

Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto menjelaskan revisi UU PPP ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. 

Seharusnya, kata Mulyanto, bila konsisten dengan putusan MK, yang segera direvisi itu UU Cipta Kerja bukan UU PPP.

Karena sebenarnya tidak ada amar putusan MK yang memerintahkan untuk mengubah UU PPP.

Karena itu Mulyanto minta, agar revisi kedua UU PPP ini tidak menjadi sekadar stempel untuk memuluskan revisi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK tersebut.  

Berita Rekomendasi

"Revisi ini utamanya adalah untuk memasukkan metode Omnibus sebagai salah satu metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Mulyanto, kepada wartawan, Rabu (9/2/2022).

"Fraksi PKS tidak ingin revisi ini hanya sebagai upaya untuk menyelamatkan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, tetapi benar-benar diarahkan dalam rangka membangun sistem perundangan yang lebih baik, yang tidak tumpang-tindih, tidak over regulasi, lebih sederhana serta lebih cepat dalam proses pembentukannya," imbuhnya. 

Baca juga: Antisipasi Meningkatnya Kasus Covid-19, Sultan Undang Utusan Buruh Temui Pansus UU Ciptaker DPD RI

Mulyanto menilai metode Omnibus memang punya kelebihan, namun ada risiko besar di dalamnya. 

Para ahli hukum menyebut risiko terbesar dari metode Omnibus adalah risiko kerugian demokrasi dan negara hukum, khususnya prinsip due process of lawmaking yakni, penurunan kualitas dan derajat keterpercayaan, penurunan kualitas partispasi publik, dan penurunan kualitas diskusi di ruang publik.

"Karenanya kita harus memitigasi risiko tersebut dalam revisi UU PPP ini," ujarnya.

"Karena itu Fraksi PKS mengusulkan sejumlah prasyarat terkait penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan seperti: ruang lingkup, waktu pembahasan dan partisipasi publik," lanjutnya.

Baca juga: Pembelian Kendaraan Baru Senilai Rp 8,3 Miliar untuk Tamu Negara Dikritik PKS

Diberitakan sebelumnya, bahwa PKS menolak revisi UU PPP dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/2/2022) dan mendesak, agar metode Omnibus diterapkan hanya dalam satu topik khusus (klaster) tertentu saja. 

Tidak melebar atau merambah ke topik-topik lain. Lalu, adanya pengaturan alokasi waktu pembahasan yang memadai, proporsional dengan jumlah UU yang terdampak. 

Kemudian, melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi publik serta akses publik yang mudah terhadap bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang dibahas.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas