Prima Kritisi Konflik Agraria di Desa Wadas Purworejo Jawa Tengah
Padahal menurut Agus, rakyat Indonesia tidak anti terhadap pembangunan dan Investasi, dengan catatan...
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengalami intimidasi dari aparat kepolisian yang diterjunkan dalam rangka mengawal pengukuran lahan untuk pembangunan Bendungan Bener, Selasa (8/2/2022).
Tindakan tersebut dilakukan lantaran warga menolak adanya pembukaan lahan untuk pertambangan andesit yang akan digunakan untuk pembangunan bendungan.
Sejumlah warga pun ditangkapi oleh aparat kepolisian. Hal ini mendapat kritikan dari Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA).
"Mengapa peristiwa semacam ini, kekerasan, intimidasi dan penangkapan, terhadap warga masih sering digunakan dalam penyelesaian konflik agraria?" ujar Ketua Umum PRIMA Agus Jabo Priyono, dalam keterangannya, Rabu (9/2/2022).
Baca juga: Ganjar Kunjungi Warga Desa Wadas, Pantau Kondusifitas dan Minta Tetap Rukun
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2021, setidaknya ada 207 konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota. Selain itu, ada 33 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Karenanya, Agus melihat konflik agraria yang terjadi di Indonesia merupakan konflik struktural yang melibatkan warga, komunitas adat, desa, petani dan warga yang berhadapan langsung dengan pemerintah maupun swasta.
Atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, negara dengan instrumennya sering melakukan tindak kekerasan kepada rakyat, dengan mengabaikan kepentingan rakyat itu sendiri, hidup aman dan tenteram di tanahnya sendiri.
Padahal menurut Agus, rakyat Indonesia tidak anti terhadap pembangunan dan Investasi. Dengan catatan, pembangunan tersebut melindungi hak hidup mereka, tidak menggusur dan tidak menimbulkan keresahan hidup mereka.
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia saat ini, lanjutnya, adalah persoalan struktural dan negara beserta instrumennya cenderung menjadi alat kapital dibandingkan membela kepentingan rakyat biasa.
Negara sering kali mengabaikan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945.
Baca juga: Utamakan Dialog dalam Penyelesaian Masalah Pengepungan Desa Wadas
"Parahnya lagi, kedua landasan hukum itu sering disalahartikan dengan penafsiran sepihak pemerintah atas doktrin hak menguasai negara, seolah-olah negara diberikan legitimasi kekuasaan absolut untuk menguasai kekayaan alam, meski itu milik rakyat," kata Agus.
"Padahal, sejatinya sudah jelas bahwa tujuan dari dikuasainya bumi, air dan kekayaan alam yang ada di Indonesia adalah untuk kemakmuran rakyat," imbuhnya.
Berangkat dari persoalan ini, PRIMA dengan tegas menyampaikan sikapnya.
Pertama, negara harus menghormati hak konstitusi warga secara umum, termasuk warga Desa Wadas, Kecataman Bener Purworejo. Sebab setiap warga negara untuk memperoleh perlindungan, kesetaraan kedudukan di muka hukum, kehidupan yang layak, dan kesejahteraan.
"Jadi, dalam menyelesaikan persoalan tidak dibenarkan aparat keamanan melakukan intimidasi, kekerasan maupun penangkapan," kata Agus.
Kedua, PRIMA menuntut Polri harus segera membebaskan warga yang ditangkap.
Ketiga, negara harus selalu mengedepankan tindakan persuasif kepada warga dalam proses penyelesaian konflik, yakni dengan melakukan musyawarah mufakat. "Hal itu sudah digariskan secara jelas dalam Pancasila," tegasnya.
Keempat, sebelum adanya kesepakatan dengan warga, Agus berpendapat sebaiknya kegiatan pengukuran dan kegiatan lainnya untuk sementara dihentikan.
"Kelima, pembangunan harus menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemakmuran, sesuai filosofi dan dasar negara Pancasila, untuk itu pembangunan di Indonesia harus diorientasikan pada keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.