Soal Wacana Penundaan Pemilu, Perludem: Lebih Tepat Disebut Usulan Penggagalan Pemilu
Titi Anggraini mengatakan usulan penundaan pemilu lebih tepat disebut sebagai penggagalan pemilu.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan usulan penundaan pemilu lebih tepat disebut sebagai penggagalan pemilu.
Pasalnya sampai hari ini Kamis, 17 Maret 2022, belum ada tahapan apapun terkait penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024.
Sehingga sebutan yang cocok atas usulan para elite politik Tanah Air adalah penggagalan pemilu.
"Jadi usulan penundaan pemilu lebih tepat sebagai penggagalan pemilu. Hari ini tahapannya belum ada, tapi sudah ada penundaan. Jadi lebih tepat dibilang sebagai penggagalan pemilu," terang Titi dalam diskusi publik bertajuk 'Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data Soal Penundaan Pemilu', Kamis (17/3/2022).
Baca juga: Ketika Pernyataan Dua Menteri Jokowi Berbeda soal Penundaan Pemilu 2024
Titi menyebut sejumlah narasi yang dikembangkan oleh mereka yang mengusulkan pemilu ditunda. Antara lain, membenturkan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dengan kondisi ekonomi. Di mana pemilu dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik.
"Secara terbuka kedaulatan rakyat itu dibenturkan dengan ekonomi, pemilu dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik. Narasi yang digaungkan bahwa pemilu tidak kompatibel dengan stabilitas politik," ucap dia.
Selain itu berkembang pula narasi yang menyebut bahwa pemilu membebani negara, lantaran membutuhkan nominal anggaran Rp100 triliun.
Baca juga: Fraksi PKB MPR: Penundaan Pemilu Hanya Bisa Dilakukan Jika Ada Dukungan Kuat Rakyat
Padahal menurut Titi, anggaran negara Rp100 triliun tersebut bertujuan untuk kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin 5 tahun sekali lewat proses pemilu.
"Narasi pemilu membebani negara. Katanya untuk apa kita mengeluarkan Rp100 triliun. Padahal itu untuk kedaulatan rakyat. Berarti kedaulatan rakyat itu tidak penting," kata Titi.