Jangan Pasang Portal Jalan Sembarangan, Bisa Digugat, Kenali Aturannya
Pemasangan portal di jalanan maupun pemukiman rumah tidak boleh sembarangan, masyarakat bisa melapor bahkan menggugat, kenali aturannya berikut.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Dinas Perhubungan (Dishub) Sukoharjo menetapkan aturan baru berupa pelarangan kendaraan berat melintasi underpass Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
Kendaraan angkutan yang mempunyai tonase lebih dari 8.500 kilogram dan ketinggian 3, 5 meter dilarang melintas jalur tersebut.
Namun, pemasangan portal justru dikeluhkan oleh masyarakat.
Kendaraan berat yang melebihi batas ketinggian masih kerap nekat mengakses underpass Makamhaji.
Baca juga: Melebihi Batas Ketinggian Maksimal, Truk Boks Nyangkut di Underpass Tanah Abang
Terlepas dari kasus tersebut, tidak jarang juga ditemukan portal yang tidak dijalankan sesuai fungsinya.
Meski dengan alasan keamanan, tetapi pemasangan portal yang sembarangan bisa mengganggu kenyamanan masyarakat.
Menilik kasus tersebut, bagaimanakah pengaturan memasang portal jalan?
Koordinator Peradi Wilayah Jateng, Badrus Zaman menyebut keberadaan portal harus bertujuan menciptakan suasana keamanan jalan dan keselamatan lingkungan.
Baca juga: Mudik Pakai Kendaraan Listrik Bebas Ganjil Genap di Jalan Tol
Dengan kata lain pembuatan portal membutuhkan izin dari pemerintah daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam hal ini, pengajuan permohonan izin dberikan kepada Dishub setempat.
"Pertama, kalau di perumahan itu harus ada kesepakatan warga, RT/RW, kemudian dilihat apa manfaatnya portal lalu diajukan ke Dishub, kemudian di survey apakah memenuhi syarat atau tidak,"
"Jika pemasangan portal di jalan raya harus ada putusan dari pemerintah daerah, Dishub, harus ada namanya surat keputusan bahwa ini (portal) boleh dipasang,"
"Ini harus ada izin dari Dinas Perhubungan, kalau tidak ada izin ya itu bisa jadi persoalan hukum," kata Badrus dalam program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (25/4/2022).
Bisa Dilaporkan dan Digugat
Lebih lanjut, Badrus mengatakan pihak yang merasa dirugikan atas pembangunan portal, bisa mengajukan gugatan atau melaporkan ke kepolisian.
"Kalau itu merugikan masyarakat, busa digugat secara perdata, kalau merasa dirugikan misalnya pejalan kaki atau yang lewat disitu,"
"Jika sekiranya menghalangi jalan itu bisa juga dilaporkan secara pidana, karena itu jelas ada aturannya, tapi bukan hanya bentuk portal," ungkapnya.
Dalam hal pemasangan portal di jalan umum yang sembarangan, gugatan bisa ditujukan kepada pihak yang pemberi izin.
Bahkan menurutnya pihak ketiga atau pihak yang ikut membangun bisa turut digugat jika memang portal tidak memiliki izin.
"Yang digugat adalah Bupati atau Dishub nya, atau siapapun yang mengeluarkan izin pembuatan portal dan yang memberikan rekomendasi,"
"Pihak ketiga yang membangun, kalau itu tidak punya izin dan merugikan masyarakat, dia salah dia melakukan perbuatan melawan hukum,"
"Kalau punya izin bisa digugat melalui Tata Usaha Negara (TUN) jika itu kesalahan izinnya, kalau kesalahan orangnya ya digugat secara perdata," jelasnya.
Sanksi Pemasangan Portal Sembarangan
Secara umum, pengaturan mengenai portal tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Namun, mengenai pembangunan portal datur dalam Pasal 4 ayat (5) huruf b Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10 Tahun 2010 tentang Acuan Pengelolaan Lingkungan Perumahan Rakyat.
Pengaturan selanjutnya, yakni pada peraturan pelaksana tiap daerah masing-masing,
Salah satu diantaranya pada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 12 Tahun 2003.
Mengacu Pasal 105 peraturan tersebut, pihak yang sembarangan membuat portal bisa diberi pidana kurungan atau denda.
Bagi orang yang melanggar membuat atau memasang portal tanpa izin dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
"Menurut Pasal 105 ayat (1) Perda DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan dengan denda sebanyak-banyaknya lima juta rupiah,"
"Akan tetapi pada masing-masing daerah aturannya berbeda hukumnannya tergantung tiap daerah," kata Badrus.
(Tribunnews.com/Milani Resti)