Pengamat Sebut Polarisasi pada Pemilu 2024 Tak Akan Terjadi Kalau Parpol Tidak Provokasi Rakyat
Adi menjelaskan bahwa seringkali dalam perhelatan pemilu segala instrumen digunakan partai politik untuk memenangkan pertarungan.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menyampaikan berdasarkan hasil survei nasional lembaganya hanya 2,2 persen pemilih yang memilih sosok calon presiden atas dasar motif sosiologis atau pertimbangan kesamaan suku atau agama.
Namun mayoritas pemilih lebih memilih pemimpin dengan pertimbangan motif psikologis (52,7 persen).
Pemilih memilih pemimpin karena mereka tegas, berani, disiplin (9,7 persen), merakyat (9 persen), serta baik orangnya (8,4 persen).
"Karena ketika kita tanya ke pemilih, ternyata paling banyak kan aspek psikologis dan rasional. Artinya figur yang dilihat pertama kali bukan dari suku dan agamanya," kata Adi dalam rilis surveinya, ditulis Rabu (13/7/2022).
Baca juga: Polarisasi Masyarakat di Pilpres 2019 Membekas, Surya Paloh Janji Upayakan Tidak Terulang di 2024
Kendati begitu Adi menjelaskan bahwa seringkali dalam perhelatan pemilu segala instrumen digunakan partai politik untuk memenangkan pertarungan.
Termasuk memproduksi isu intoleran seperti menggunakan isu agama yang jadi salah satu pemicu polarisasi.
Sehingga Adi berharap partai politik yang menjadi peserta pemilu bisa menjaga komitmennya untuk tidak menggunakan isu SARA dalam kepemiluan.
"Kalau kondisi alamiah ini tetap dirawat, dimana semua partai semua koalisi istiqomah konsisten tidak menggunakan agama dalam pemilu, saya kira polarisasi tidak akan terjadi," tuturnya.
"Problemnya adalah kalau partai, koalisi ini genit, masyarakat diprovokasi dengan isu agama, maka akan terjadi seperti 2019 dan pilkada 2017," pungkas Adi.