Hari Ini, Eks Presiden hingga Ketua Dewan Syariah ACT Diperiksa Bareskrim Polri
Untuk ketujuh kalinya, Ahyudin kembali diperiksa kasus dugaan penyelewengan dana keluarga korban Lion Air JT-610 Senin (18/7/2022) di Bareskrim.
Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Presiden lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin kembali menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan penyelewengan dana keluarga korban Lion Air JT-610, Senin (18/7/2022) di Bareskrim Polri.
Pantauan Tribunnews.com di gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Ahyudin hadir sekira pukul 11.00 WIB.
Namun, Ahyudin tak mengeluarkan sepatah kata pun saat masuk ke gedung Bareskrim Polri untuk kembali menjalani pemeriksaan yang ketujuh kalinya.
Terkait itu, Kasubdit IV Dittipideksus Bareskrim Kombes Andri Sudarmaji membenarkan adanya pemeriksaan terhadap Ahyudin hari ini.
"Jadwal pemeriksaan ACT, Ahyudin sebagai pendiri, Ketua Pengurus dan Presiden Yayasan ACT jam 11.00 WIB," kata Andri kepada Tribunnews.com, Senin (18/7/2022).
Selain Ahyudin, kata Andri, pihaknya juga memeriksa sejumlah orang lainnya dalam pada hari ini. Total, lima orang diperiksa hari ini.
"Kedua Ketua Pembina yayasan ACT, Imam Akbari, ketiga Bobby Herwibowo sebagai anggota Dewan Syariah ACT, keempat pengawas yayasan ACT, Sudarman dan Ketua Dewan Syariah ACT, Dr. Amir Faishol Fath," ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penyelewengan dana di lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) mulai menemukan titik terang.
Satu di antaranya ACT diduga menyelewengkan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610.
Adapun kasus ini pun telah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Namun begitu, belum ada pihak yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Baca juga: Ombudsman: Jajaran Kemensos yang Mengawasi ACT Tidak Harus Ikut Diperiksa
Diketahui, Lion Air JT-610 merupakan penerbangan pesawat dari Jakarta menuju Pangkal Minang.
Namun, pesawat tersebut jatuh di Tanjung Pakis, Karawang pada 29 Oktober 2018 lalu.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan ACT mengelola dana sosial dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
"Dimana total dana sosial atau CSR sebesar Rp. 138.000.000.000," kata Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Dijelaskan Ramadhan, dugaan penyimpangan itu terjadi era kepemimpinan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat ini masih menjabat sebagai pengurus.
Mereka diduga memakai sebagian dana CSR untuk kepentingan pribadi.
"Pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana social/CSR dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," jelas Ramadhan.
Baca juga: Ahyudin Pamer Laporan Keuangan ACT Dapat WTP Selama 15 Tahun, Begini Tanggapan Polri
Ramadhan menjelaskan bahwa kepentingan pribadi yang dimaksudkan memakai dana sosial untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina hingga staff di yayasan ACT.
"Pihak yayasan ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden Ahyudin dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden," beber Ramadhan.
Ia menjelaskan ACT tak pernah mengikutisertakan ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial atau CSR yang disalurkan oleh Boeing.
"Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut," pungkas Ramadhan.
Dalam kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.