Imparsial Nilai Tak Ada Urgensi Membentuk Dewan Keamanan Nasional
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebut, agenda pembentukan DKN sebetulnya merupakan agenda lama yang dulu dimasukan dalam RUU Kamnas
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Whiesa Daniswara
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menilai, tak ada urgensi membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN).
Dia menyebut, agenda pembentukan DKN sebetulnya merupakan agenda lama yang dulu berusaha dimasukan dalam RUU Kamnas.
Namun, karena mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil, RUU Kamnas pun gagal untuk disahkan.
Dengan demikian, langkah pemerintah saat ini yang akan membentuk DKN melalui Perpres adalah bentuk fait accompli pasca gagalnya Pembahasan RUU Kamnas dan ini berbahaya bagi demokrasi.
"Selain itu, kami memandang, urgensi pembentukan DKN ini juga patut dipertanyakan mengingat pembentukan DKN akan menimbulkan tumpang tindih kerja dan fungsi dengan lembaga negara yang sudah ada," kata Al Araf, dalam keterangannya, Sabtu (27/8/2022).
Sebagaimana diketahui saat ini, sudah ada lembaga yang melakukan fungsi koordinasi di bidang keamanan, yaitu Kemenko Polhukam.
Sedangkan, dalam hal memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, telah ada lembaga yang menjalankan fungsi tersebut yakni Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Kantor Staf Presiden (KSP).
"Kami menilai Pembentukan DKN yang dilakukan secara terburu-buru dan terkesan tertutup. Patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru negara kepada masyarakat seperti halnya pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru," ucapnya.
Lebih lanjut, agenda penempatan TNI dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI merupakan usulan yang keliru dan bermasalah.
Usulan tersebut jelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru.
Al Araf mengingatkan, penghapusan Dwi-fungsi ABRI yang dilakukan pada saar transisi menuju Demokrasi pada tahun 1998 tidak hanya sebentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.
"Agenda menempatkan TNi aktif dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI, tidak hanya akan merusak dinamika internal TNI, tapi juga kehidupan politik demokrasi secara keseluruhan di Indoneaia," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.