Respons Sekjen Gerindra Soal Sekber Prabowo-Jokowi Gugat UU Pemilu ke MK: Hak Warga Negara
Gugatan itu bermaksud memberi kepastian mengenai boleh atau tidaknya seorang presiden yang sudah menjabat dua periode maju sebagai calon wapres.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretariat Bersama (Sekber) Prabowo-Jokowi 2024-2029 menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan itu bermaksud memberi kepastian mengenai boleh atau tidaknya seorang presiden yang sudah menjabat dua periode maju sebagai calon wakil presiden.
Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengaku belum mengetahui kabar tersebut.
Namun menurutnya hal itu merupakan hak setiap warga negara.
Baca juga: Sekjen Gerindra Sebut Cak Imin Paling Potensial Dipertimbangkan Jadi Cawapres Prabowo Subianto
"Prinsipnya setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak hukum sama di depan hukum," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Wakil Ketua MPR RI itu belum bisa berkomentar lebih jauh mengenai gugatan yang dilayangkan Sekber Prabowo Jokowi itu. Dia menghormati apa yang menjadi putusan MK.
"Saya akan update hari ini sebenarnya. Saya baru dapat berita tadi pagi jadi saya belum dapat update kanan kiri," ucapnya.
"Sehingga kita persilahkan nanti bagaimana keputusan MK," tandasnya.
Sekber Prabowo-Jokowi meminta MK memberi kepastian mengenai boleh atau tidaknya seorang presiden yang sudah menjabat dua periode maju sebagai calon wakil presiden.
Hal ini tertuang dalam surat permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Sekber Jokowi-Prabowo 2024-2029.
"Pemohon membutuhkan kepastian apakah Presiden yang telah menjabat dua periode dapat maju lagi tetapi sebagi wakil presiden," demikian dikutip dari berkas permohonan yang diunggah laman resmi MK RI.
Baca juga: Isu Jokowi Jadi Cawapres Prabowo, PDIP: Pak Presiden Bukan Orang yang Gila Kekuasaan
Sebab, Sekber menilai, Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang mengatur syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden multitafsir. Pasal tersebut berbunyi:
"Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: (n) belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".
Menurut mereka, frasa "Selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" dianggap tidak tegas dan dapat menimbulkan keragu-raguan serta ketidakpastian hukum.
Sekber berpendapat, ketentuan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Menurut Sekber, frasa "atau" dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu dianggap memisahkan antara posisi presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, Pasal 7 UUD 1945 menggunakan frasa "dan" yang dimaknai bahwa posisi presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan.
"Aturan yang terdapat pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu menimbulkan multitafsir jika dibandingkan dengan Pasal 7 UU 1945 karena tidak memberikan kepastian terkait dengan pencalonan presiden dan wakil presiden," tulis Sekber.
"Karena wakil presiden yang pernah menjabat di priode yang berbeda selama belum 2 (dua) kali menjabat dalam jabatan yang sama bisa saja, ikut dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lagi, apabila berpasangan dengan calon presiden lainnya," lanjut mereka.
Ketentuan itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 soal kepastian hukum yang adil serta Pasal 28D Ayat (3) konstitusi tentang hak warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Oleh karena itu, melalui gugatan ini, Sekber meminta MK:
1. Menyatakan frasa "presiden dan wakil presiden" dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 7, Pasal 28D Ayat (1) dan (3) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "pasangan presiden dan wakil presiden yang sama dalam satu masa jabatan yang sama".
2. Menyatakan frasa "selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama pada jabatan yang sama" Pasal 169 huruf n UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 7, Pasal 28D Ayat (1) dan (3) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "berturut-turut".