KPK akan Tentukan Nasib Gubernur Papua Lukas Enembe Setelah Analisis Pemeriksaan Kesehatan Rampung
KPK segera tentukan langkah hukum lanjutan kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek pengadaan infrastruktur dengan tersangka Gubernur Lukas Enembe.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menentukan langkah hukum lanjutan dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek pengadaan infrastruktur dengan menggunakan APBD Provinsi Papua dengan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, langkah hukum lanjutan akan dilakukan saat KPK selesai menganalisis hasil pemeriksaan kesehatan Lukas Enembe beberapa waktu lalu.
"(Hasil pemeriksaan kesehatan) masih dalam analisis tim penyidik. Untuk segera menentukan langkah hukum berikutnya," kata Ali Fikri, Rabu (9/11/2022).
Sebelumnya, KPK berbicara kemungkinan menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe.
Namun demikian, hingga kini KPK masih memeriksa hasil pemeriksaan kesehatan Lukas Enembe oleh tim dokter KPK dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"Kalau kemudian pada saatnya memang dibutuhkan ada penjemputan paksa terhadap seorang tersangka, ya, pasti kami lakukan," ujar Ali Fikri, Selasa (8/11/2022).
Ali Fikri menyebut, pihaknya masih mendalami hasil pemeriksaan Lukas Enembe di kediamanya di Papua.
Diketahui, tim KPK bersama Ketua KPK Firli Bahuri sempat menemui Lukas Enembe pada Kamis (3/11/2022).
"Tentu kami harus lakukan analisis mendalam bahwa sekali lagi kami tidak ingin melanggar hukum ketika menegakan hukum. Dan yang perlu digarisbawahi bahwa di dalam penegakan hukum itu menjunjung tinggi hak asasi manusia menjadi penting," sebut Ali Fikri.
Baca juga: Pertemuan Firli Bahuri dengan Gubernur Papua Lukas Enembe Tak Jadi Atensi Dewas KPK
Menurut Ali Fikri, penjemputan paksa terhadap seorang tersangka bisa dilakukan saat tersangka mangkir dari pemeriksaan tanpa ada keterangan sedikit pun.
Namun untuk Lukas Enembe, menurut Ali pihak kuasa hukumnya masih berusaha berkomunikasi dengan tim penyidik KPK.
"Bahwa jemput paksa itu ketentuan normatif di dalam hukum acara pidana, ada ruang untuk itu, di dalam pasal 112 Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP itu ada. Ketika misalnya seorang tersangka mangkir tidak ada sama sekali konfirmasi pada panggilan yang pertama, yang kedua, baru yang ketiganya diambil atau dijemput paksa, itu bisa dilakukan," jelas Ali Fikri.
"Nah dalam proses ini kan memang kemudian ada ruang diskusi, sekali pun kami selalu mengingatkan saudara penasihat hukum agar tidak membukanya di ruang publik," Ali Fikri menambahkan.