Sejumlah Akademisi Pesimistis Revisi PP 109/2012 Efektif Kurangi Konsumsi Rokok
Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengkritisi wacana pelarangan rokok dijual secara batangan.
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengkritisi wacana pelarangan rokok dijual secara batangan, sebagaimana rencana perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Menurutnya, wacana tersebut tak sepenuhnya dapat menjadi solusi yang tepat jika tujuan kebijakannya adalah untuk mengurangi konsumsi rokok.
Bagong menekankan perlunya kembali menggali kesadaran akan bahaya merokok.
“Mengerem kebiasaan merokok masyarakat tidak cukup hanya melalui pelarangan, tapi perlu mengubah kesadaran. Ini adalah soal pemahaman mengenai bahaya rokok itu sendiri yang perlu digali dan dipulihkan kembali. Perokok yang telah kecanduan akan tetap membeli rokok meskipun tidak dapat lagi membeli secara batangan,” ujar Bagong dalam keterangannya, Jumat (30/12/2022)
Oleh karenanya, Bagong mendorong adanya edukasi sosial untuk mempromosikan bagaimana menciptakan nilai baru soal bahaya rokok, kejahatan rokok.
Tokoh-tokoh lokal, dan juga perempuan, disebut Bagong punya peran vital dalam ikhtiar edukasi sosial ini.
“Biasanya, suami-suami itu nurut kalau istri yang meminta. The power of emak-emak, bahasa kerennya, diperlukan juga untuk mengembangkan gerakan perempuan dan anak antirokok,” kata dia.
Edukasi sosial ini menjadi penting, sebab menurut Bagong, dalam tatanan masyarakat yang memang menutup mata atas bahaya merokok, adanya iklan yang mengajak untuk berhenti merokok pun bakal tidak efektif.
Baca juga: Asosiasi Pedagang Kaki Lima Protes Rencana Pelarangan Penjualan Rokok Batangan
Sementara itu, Pengamat Sosial Universitas Katolik Parahyangan Garlika Martanegara cukup pesimistis dalam memproyeksikan implementasi wacana kebijakan ini.
Bukan hanya tidak efektif, Garlika menilai jika dijalankan, wacana kebijakan justru bakal memicu masalah-masalah baru.
“Misalnya saya beli rokok kemasan, kemudian saya datang ke pangkalan ojek, dan menjualnya secara ketengan, bisa saja pelanggarannya seperti itu. Apa iya setiap ada orang berkumpul kemudian para penegak hukum akan mendatangi dan tanya rokoknya dari mana?” ujar dia.
Aspek pengawasan memang akan menjadi tantangan terberat dalam menerapkan wacana kebijakan ini.
Oleh karenanya, menurut Garlika, pemberlakuan wacana kebijakan ini pasti tidak akan berjalan mulus dan justru menumbuhkan pelanggaran-pelanggaran baru.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.