Amnesty: Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tanpa Upaya Mengadili, Menambah Garam Pada Luka
Pengakuan Presiden atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat
Penulis: Gita Irawan
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pengakuan Presiden atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Meski menghargai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat sejak tahun 1960-an di Indonesia, lanjut dia, pernyataan itu sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.
Baca juga: Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Korban Tragedi Semanggi I Sebut Jokowi Pencitraan
"Namun pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya," kata Usman ketika dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (11/1/2023).
"Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," sambung dia.
Pemerintah, kata Usman, hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat.
Sekadar menyebut nama-nama peristiwa saja, kata dia, jauh dari cukup.
Belum lagi, lanjut dia, kalau bicara tentang kekerasan seksual yang terjadi secara sistematik dalam berbagai situasi pelanggaran HAM berat masa lalu seperti 1965-1966 hingga selama daerah operasi militer selama 1989-1998.
"Menyebut nama peristiwa seperti Tragedi Mei 1998 misalnya, itu perlu mempertimbangkan kekerasan rasial dan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi berdarah tersebut," kata Usman.
Baca juga: Komisi III DPR: Selain Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, Negara Wajib Memenuhi Hak Korban
Sementara itu, lanjut dia, pemerintah secara nyata mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya.
Kejahatan yang dimaksud misalnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir.
Menurutnya, jika Presiden Jokowi serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000, kasus Munir seharusnya juga disebutkan.
Kelalaian itu, kata Usman, merupakan penghinaan bagi banyak korban.
Baca juga: 9 Poin Sikap Komnas HAM atas Pengakuan Negara Terhadap Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Pemerintah, lanjut dia, mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini termasuk empat kasus yang tidak disebutkan telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan sebelumnya.