Akses Internet yang Tak Dikelola dengan Bijak Jadi Alat Penyebaran Radikalisme hingga Terorisme
Tingginya akses internet di Indonesia jika tidak dikelola dengan bijak bisa menjadi alat strategis bagi penyebaran radikalisme, terorisme.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terorisme, radikalisme dan intoleransi berpotensi memecah belah bangsa Indonesia yang besar, apalagi di era digital seperti sekarang akan sangat mudah menyebar lewat media sosial.
Untuk itu, tingginya akses internet di Indonesia jika tidak dikelola dengan bijak tentu bisa menjadi alat strategis bagi penyebaran radikalisme, terorisme, dan intoleransi yang mengancam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam.
"Penyebar radikalisme, terorisme, dan intoleransi tampaknya telah melupakan sejarah berdirinya NKRI, yang memang sejatinya dibangun di atas fondasi kebhinekaan dengan keragaman budaya, suku bangsa, bahasa bahkan agama," ujar Ketua Umum DPP Brigade Nasional, Reni Lubis usai deklarasi Pengurus DPP Brigade Nasional serta dialog kebangsaan Radikalisme dan Intoleransi di Balai Sarwono, Sabtu (28/1/2023).
Reni Lubis menilai Presiden Jokowi sangat konsisten dalam memberantas persoalan bangsa itu dan konsistensi kepala negara akan menjadi warisan yang baik bagi generasi mendatang.
Baca juga: HNW: Islam Ajarkan Moderatisme, Cinta Negara, Bukan Radikalisme atau Terorisme
"Brigade Nasional sepenuhnya mendukung Presiden RI Joko Widodo dalam mencegah radikalisme, terorisme, dan intoleransi karena kebhinekaan yang koyak dengan adanya upaya memecah belah bangsa tidak bisa didiamkan begitu saja," katanya.
Brigade Nasional akan berkontribusi melalui sumbangan pemikiran, refleksi mendalam, kajian-kajian ilmiah, serta aksi nyata melalui cara-cara yang kreatif dengan pendekatan sosial budaya.
"Saya mengajak seluruh pengurus DPP Brigade Nasional, DPD maupun DPC Brigade Nasional, seluruh organ relawan, dan segenap masyarakat Indonesia untuk bersatu, bergotong royong melawan radikalisme, terorisme, dan intoleransi yang akan membawa Indonesia adil, makmur, dan sejahtera dalam kebhinekaan," katanya.
Dewan Pembina Brigade Nasional Petrus Selestinus mengatakan, kekerasan maupun persekusi yang dilakukan oleh ormas tertentu terhadap kelompok minoritas lain atas dasar SARA masih sering terjadi secara sporadis di Indonesia.
Sayangnya, tindak kekerasan dan persekusi itu tidak diproses hukum karena semua itu berujung dengan damai yang dilakukan di bawah tekanan massa.
"Pola penyelesaian demikian sangat disesalkan karena tidak sejalan dengan semangat Presiden Jokowi ketika merevisi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas melalui Perpu No. 2 Tahun 2017 dan prinsip pemidanaan dalam delik umum, bukan aduan yang tidak mengenal penghentian proses pidana karena adanya perdamaian antara pelaku dan korban atau pelaku dengan oknum polisi yang menangani perkaranya," ujar Petrus.
Baca juga: Survei BNPT: Potensi Radikalisme Cenderung Tinggi ke Perempuan dan Generasi Muda Aktif Main Internet
Meski terjadi perdamaian antar kelompok pelaku dan korban, kata Petrus penyidik tidak boleh menjadikan perdamaian antar pelaku dan korban dalam kasus pidana intoleransi, SARA, pelanggaran HAM sebagai alasan penghentian penanganan kasus pidana tersebut.
Pasalnya, ada faktor kepentingan strategis nasional dan kepentingan umum yang lebih besar yang harus dilindungi yakni ketertiban umum dan kesejahteraan umum.
Wakil Ketua Umum DPP Brigade Nasional, Taufik Damas, menegaskan sebagai masyarakat modern sudah seharusnya masyarakat Indonesia menghargai demokrasi.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia juga wajib ditaati baik oleh seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat.
"Sebagai bangsa yang beradab, penting untuk menghargai perbedaan yang memang menjadi fitrah dalam kehidupan," kata Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jakarta itu.
Pada kesempatan yang sama, pengamat sosial Rudi S. Kamri menegaskan pelaku tindak intoleransi dapat diproses hukum meskipun berlandaskan UUD 1945.
"Siapa pun yang melakukan tindak intoleransi dan radikalisme yang berujung pada separatisme harus diberantas."
"Kalau ada kelompok tertentu yang membuat negara dalam negara, punya sistem sendiri dan aturan sendiri, itu jelas separatis dan harus diproses hukum," katanya.