Konten LGBT Masih Marak, Ini Tanggapan Lembaga Sensor Film RI
LSF RI merespons masih adanya laporan konten-konten LGBT di media elektronik maupun sosial media yang tidak lolos sensor
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Dodi Esvandi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) merespons masih adanya laporan konten-konten LGBT di media elektronik maupun sosial media yang tidak lolos sensor.
Ketua LSF RI, Rommy Fibri Hardiyanto menjelaskan bahwa jaringan informatika tidak hanya dikelola oleh LSF, namun juga ada kementerian/lembaga terkait yang memiliki tugas kontrol, pengawasan, hingga take down.
Setidaknya LSF mencatat ada 36.514 judul film didaftarkan sepanjang tahun 2022.
Dari jumlah tersebut terdapat dua judul film yang dikembalikan ke pemilik film dan tidak diberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).
Baca juga: Total 36.514 Judul Film Didaftarkan ke LSF RI Sepanjang Tahun 2022
Ketua LSF mengatakan data ini menunjukkan bahwa LSF telah melakukan upaya untuk menyaring konten-konten negatif, maupun konten-konten yang tidak sesuai budaya Indonesia.
Dalam pengawasan dan kontrol di media, Hary mengatakan bahwa LSF RI tidak sendirian.
Masih ada lembaga lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki otoritas mengawasi, mengatur isi siaran di televisi.
Sedangkan pada jaringan informatika, kontrol dan pengawasan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Baca juga: Anggota Komisi X Dorong Kebangkitan Sineas Lokal dengan Perkuat LSF Daerah
"Itu diatur di UU ITE. Ada yang namanya PSE, penyelenggara sistem elektronik. Jadi semua yang berbisnis elektronik, pengaturannya ada di Kemenkominfo. Sehingga jika LSF ingin masuk ke sana, LSF harus berkomunikasi dengan lembaga/kementerian terkait tersebut," kata Romy saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Rommy mengatakan LSF juga melakukan dua upaya menanggulangi konten-konten yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Pertama, LSF melakukan pertemuan dengan penyelenggara aplikasi konten film seperti over the top (OTT) semacam Netflix, Disney Hotstar, dan sejenisnya.
Tujuannya supaya tumbuh kesadaran pengelola OTT untuk menyaring konten-konten negatif, seperti konten pornografi, pornoaksi, maupun konten LGBT untuk menyelamatkan generasi Indonesia.
"Bukan hanya bertemu, tapi kami undang mereka dalam satu forum. Kita bicarakan masa depan OTT Indonesia yang seperti apa. Mereka juga punya anak dan cucu, jadi ada tanggung jawab mereka disitu, tidak hanya asal making money," ujarnya.
Baca juga: Ketua DPD RI: Lembaga Sensor Film Daerah Sebaiknya Ditambah, Bukan Dibubarkan
Kedua, LSF berkampanye masyarakat agar tumbuh kesadaran di masyarakat menonton sesuai klasifikasi usia.
Ketua LSF menegaskan pentingnya orang memiliki kesadaran sendiri untuk menyensor film yang akan ditonton.
Pihaknya sudah berupaya memberikan panduan, hingga mengkampanyekan agar masyarakat menonton film sesuai dengan usianya.
Namun hal yang paling penting menurutnya adalah kesadaran dari diri sendiri, termasuk pentingnya orang tua memberikan tontonan yang sesuai usia pada anaknya saat akan menonton di bioskop maupun di televisi.
"Kalo berkomunikasi dengan kementerian/lembaga itu kan lama prosesnya dan belum tentu ketemu (jalan keluar). Nah sambil nunggu itu, kita melakukan 2 itu," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.