Tanggapi Strategi 'China Dream' Xi Jinping, Etnis Tionghoa Diajak Terus Bangun Indonesia
Strategi China Dream oleh Xi Jinping sejak dikukuhkan sebagai Ketua PKC ini dikhawatirkan berimbas pada para Tionghoa di Indonesia.
Penulis: Choirul Arifin
Johanes menambahkan, Xi Jinping lewat kebijakannya ini ingin mengembalikan kejayaan bangsa Tiongkok dengan melibatkan partisipasi warga Tionghoa di luar China.
"Ajakan ini mungkin akan mudah mempengaruhi imigran baru Tionghoa di luar negeri seperti yang masuk ke Indonesia setelah tahun 1960an, tapi saya tak yakin ini akan berhasil pada Tionghoa imigran lama karena mereka sudah sangat menyatu dengan budaya lokal Indonesia," bebernya.
Merujuk pada pernyataan Profesor Leo Suryadinata, Johanes menyatakan pada tahun 2014, Xi pernah mengatakan bahwa Tiongkok yang bersatu adalah akar bersama dari putra dan putri Tiongkok di dalam dan di luar Cina.
Baca juga: Australia-Filipina Gelar Patroli Militer Bersama di Laut China Selatan
“Dalam pandangan Profesor Suryadinata, Xi menggunakan istilah putra putra Tiongkok (Zhonghua ernu) untuk merujuk baik orang-orang Tionghoa yang berada di Tiongkok maupun yang berada di luar Tiongkok,” ujar Johanes.
Sejalan dengan kebijakan Xi Jinping, sejumlah pejabat tinggi China juga menekankan sikap yang sama dalam pernyataan-pernyataan mereka dalam sepuluh tahun belakangan ini.
Kembali merujuk pada Suryadinata, Johanes mengatakan, pada 2015, di hadapan para pengusaha Tionghoa dari berbagai belahan dunia, Perdana Menteri Li Keqiang menyampaikan harapannya agar para pebisnis Tionghoa seberang lautan berperan sebagai ‘kekuatan baru yang efektif’ bagi transformasi ekonomi dan pembangunan di Cina.
Sementara itu, dalam sebuah pidato pada September 2015, Duta Besar Tiongkok untuk Malaysia menyatakan penekanan berikut “…huaqiao dan huaren, ke mana pun kalian pergi, tak peduli sudah berapa generasi kah kalian, Tiongkok akan selamanya menjadi rumah ibu yang hangat bagi kalian.”
Johanes mengigatkan, pernyataan-pernyataan serupa pernah pula disampaikan oleh para pejabat Tiongkok di Indonesia.
“Menurut catatan Profesor Suryadinata, pada April 2012, Direktur dari Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Beijing, Li Yinze, menganjurkan generasi muda Tionghoa Indonesia untuk belajar Bahasa Mandarin demi memperkuat identifikasi mereka dengan bangsa Tiongkok,” papar Johanes.
Johanes juga menyinggung pernyataan seorang pejabat lain pada 2015, yang menyatakan bahwa “Tanah leluhur tidak akan pernah melupakan kontribusi besar dari huaqia dan huaren di luar negeri. Tiongkok akan selalu menjadi pendukung kuat (strong backer) bagi masyarakat keturunan Tionghoa di luar negeri.”
Johanes mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan etnik Tionghoa di luar Tiongkok itu bisa menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara di mana orang-orang Tionghoa tersebut tinggal.
Namun demikian, menurutnya, kekhawatian di atas bukanlah tanpa jalan keluar.
“Dalam kasus Indonesia, makin kuatnya akar kebangsaan Indonesia di kalangan seluruh etnik Tionghoa kiranya dapat menjadi sebuah penangkal yang jitu baik terhadap kecurigaan yang muncul di kalangan non Tionghoa,” ujar Johanes.
Michael Andrew, berpendapat, dalam kasus di Indonesia, etnik Tionghoa telah mengalami berbagai peristiwa kontekstualisasi sehingga memiliki nasionalisme keindonesiaan yang mengakar.