Aktivis Ingatkan Proyek Gasifikasi Batubara Berpotensi Rugikan Negara
Proyek Strategis Nasional (PSN) gasifikasi batubara Dimethyl Ether (DME) PT Bukit Asam di Kawasan Industri Tanjung Enim, SumSel mengalami kendala
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proyek Strategis Nasional (PSN) gasifikasi batubara Dimethyl Ether (DME) PT Bukit Asam di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan mengalami kendala.
Proyek ini mandek setelah setahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan peletakan batu pertama proyek pada Januari 2022 lalu.
Presiden saat itu menekankan agar proyek ini harus segera rampung dalam kurun waktu 30 bulan.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebut, proyek gasifikasi batubara ini mandek karena badan usaha terkait belum sepakat soal hitung-hitungan investasi dan untung rugi proyek.
Badan usaha yang terlibat yakni PT Pertamina sebagai off taker (pembeli), PT Bukit Asam Tbk, dan Air Products and Chemical Inc (APCI).
Total investasi proyek mencapai US$15 miliar.
Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi mengatakan problem mandeknya proyek gasifikasi batubara ini telah diperkirakan sejak awal oleh para pemerhati dan aktivis lingkungan.
Ia menyebut, nilai manfaat proyek tidak sebanding dengan nilai investasi yang dikeluarkan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
“Alih-alih mendapatkan pertambahan nilai melalui gasifikasi batubara, proyek ini justru berpotensi merugikan negara dan memperparah kondisi lingkungan yang sudah rusak. Juga tampak jelas bahwa proyek ini hanya jadi dalih perpanjangan penggunaan energi kotor seperti batubara,” ujar Novita dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Jumat (10/3/2023).
Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA, 2020) menyatakan proyek ini tidak layak karena tidak memiliki nilai keekonomian.
Dalam analisisnya, proyek gasifikasi batubara DME ini akan menimbulkan utang baru sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat.
Termasuk juga akan merugikan negara sebesar 377 juta dolar Amerika Serikat per tahunnya atau setara 5,43 triliun rupiah per tahun.
Nilai kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar 19 juta dolar Amerika Serikat setara 273,7 miliar rupiah, yang diklaim pemerintah Indonesia untuk menjustifikasi pembangunan proyek ini.
Potensi angka kerugian ini akan bertambah mengingat selain PTBA, proyek gasifikasi batubara juga akan dijalankan oleh PT Adaro Energy, PT Indika Energy, dan PT Batulicin Enam Sembilan.