Akademisi Beberkan Kejanggalan Proses Hukum Adelin Lis
Indikasi kejanggalan dalam proses hukum pengusaha Adelin Lis kini telah menjadi bola salju.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indikasi kejanggalan dalam proses hukum pengusaha Adelin Lis kini telah menjadi bola salju yang kian membesar.
Kali ini giliran Wakil Rektor I (Bidang Akedemik) Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta Dr Hulman Panjaitan SH MH yang memprsoalkannya.
Dia mengamini bahwa proses hukum Adelin Lis penuh kejanggalan.
“Kejanggalan-kejanggalan itu mulai dari pelimpahan berkas perkara, dakwaan, kemudian tuntutan, hingga pengajuan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),” kata Hulman Panjaitan dalam “podcast” dengan “host” Chief Executive Officer (CEO) Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB) Rudi S Kamri yang tayang di kanal YouTube KABTV, Sabtu (15/4/2023).
Diketahui, Adelin Lis divonis bebas murni dalam kasus dugaan pembalakan liar atau “illegal logging” di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumut, tahun 2007 lalu.
Baca juga: Dekan FH UKI: Jaksa Salah Terapkan Hukum, Adelin Lis Jadi Korban
JPU kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan kasasinya tahun 2008, MA memvonis Adelin Lis dengan hukuman 10 tahun penjara.
Kini, Adelin Lis tengah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan.
Berdasarkan dokumen yang dia pelajari, Hulman Panjaitan mengaku JPU mengajukan kasasi kasus Adelin Lis ke MA karena mereka beranggapan Direktur PT Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia dan PT Mujur Timber itu tidak bebas murni.
“Padahal kalau kita baca dokumennya, Adelin Lis bebas murni. Sesuai Pasal 244 KUHP, putusan bebas murni tidak bisa diajukan kasasi,” jelasnya.
Baca juga: Babak Baru Kasus Adelin Lis Coba Diungkap Rudi S Kamri
Hulman lalu merujuk Pasal 244 KUHP yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Soal perbuatan melawan hukum Adelin Lis, kata Hulman, JPU juga masih berpegangan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil “maupun” dalam arti materiil.”
Menurut Hulman, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Constitutional Review terhadap UU Tipikor pada tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 telah membatalkan diksi “dalam arti materiil”.
“Sehingga mestinya JPU dalam mengklasifikasikan perbuatan melawan hukum Adelin Lis itu hanya secara formil saja, bukan secara meteriil,” paparnya.
Secara formil, kata Hulman, Menteri Kehutanan saat itu, MS Kaban saat memberikan kesaksian dalam persidangan Adelin Lis menyebut bahwa perkara yang menjerat pengusaha hutan itu adalah perkara perdata, bukan perkara pidana, sehingga sanksinya pun hanya sanksi administratif, dan itu sudah dipenuhi Adelin Lis.
“Maka saya yang setiap hari belajar hukum pun mempertanyakan JPU yang menggunakan pasal pidana, dan juga masih memakai Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebelum dibatalkan MK,” katanya.
Lepasnya para direksi lain PT Keang Nam Development Indonesia dalam kasus ini juga menjadi bahan pertanyaan Hulman.
Menurut dia, kerja direksi itu bersifat kolektif kolegial, sehingga tanggung jawabnya pun bersama-sama.
“Kok bisa yang dihukum hanya direktur keuangan sementara direktur utama dan direktur lain bebas? Ini sangat janggal,” katanya.
Bermodal kejanggalan-kejanggalan itulah Hulman lalu mendukung keluarga Adelin Lis mengajukan upaya hukum luar biasa ke MA, yakni Peninjauan Kembali (PK). Sesuai KUHAP dan UU No 14 Tahun 1985 tentang MA, kata Hulman, terpidana berhak mengajukan PK, bahkan hingga dua kali sesuai putusan MK No 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014.
“Syarat-syarat diajukannya PK, di antaranya apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, atau dengan kata lain ada ‘novum’ (bukti baru). Dan apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Saya melihat Majelis Hakim Kasasi MA telah melakukan kekaliruan yang nyata,” tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.