Pengamat Nilai Revisi UU TNI Problematik dan Berpotensi Lemahkan Reformasi Militer
Menurutnya draf tersebut dapat dianggap menciptakan problem baru dikarenakan beberapa hal.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) sekaligus pengamat militer Anton Aliabbas menyoroti beredarnya bahan presentasi pembahasan revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Dokumen itu merupakan pembahasan internal TNI terkait perubahan regulasi tersebut.
Anton menyoroti sejumlah usulan perubahan beleid yang mengatur tentang angkatan bersenjata dalam paparan tersebut di antaranya kedudukan TNI, perpanjangan usia pensiun, penambahan pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif, hubungan kelembagaan Kementerian Pertahanan-TNI hingga kewenangan anggaran.
"Secara umum, usulan tersebut cenderung problematik, menyiptakan inefisiensi, bahkan berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk mengganggu bangunan relasi Kementerian Pertahanan-TNI," kata Anton ketika dikonfirmasi pada Kamis (11/5/2023).
Menurutnya draf tersebut dapat dianggap menciptakan problem baru dikarenakan beberapa hal.
Pertama, kata dia, usul TNI merupakan alat negara di bidang Pertahanan dan Keamanan negara jelas tidak memiliki dasar kuat.
UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI, kata dia, tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 10 UU Pertahanan Negara, kata dia, jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI.
"Penggunaan istilah Keamanan Negara juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu (gray area) dan overlapping dengan tugas Polri," kata Anton.
Baca juga: Pengamat Kritik Usulan Revisi UU TNI yang Melebar hingga ke Urusan Anggaran
Kedua, lanjut dia, penghilangan narasi Pasal 3 ayat 1 UU TNI yang menjelaskan tentang posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer jelas berbahaya.
Penghilangan garis komando tersebut, kata dia, dapat membuka ruang terjadinya insubordinasi militer terhadap pemimpin sipil.
Belum lagi, lanjut Anton, ketentuan pelaksanaan operasi militer, baik perang dan non perang, yang mensyaratkan kebijakan dan keputusan politik negara juga ingin dianulir.
Draf tersebut, kata dia, menginginkan pelaksanaan OMSP tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara.