Pengamat Nilai Revisi UU TNI Problematik dan Berpotensi Lemahkan Reformasi Militer
Menurutnya draf tersebut dapat dianggap menciptakan problem baru dikarenakan beberapa hal.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Hal tersebut menurutnya bisa disandarkan pada dua hal.
Pertama, kata dia, adanya ide pelembagaan Wakil Panglima TNI.
Sejauh ini, menurut Anton tidak ada justifikasi yang kuat mengenai urgensi keberadaan Wakil Panglima TNI.
Selain telah dibantu oleh tiga kepala staf angkatan, kata dia, kerja Panglima TNI juga ditopang Kepala Staf Umum TNI.
"Jika memang masih dirasa kurang maka cukup dengan penambahan tugas yang harus diampu seorang Kasum TNI," kata dia.
Kedua, kata dia, soal adanya ide penambahan usia pensiun jenderal menjadi 60 tahun dan Bintara-Tamtama menjadi 58 tahun.
Menurut Anton pengalaman sudah menunjukkan penambahan usia pensiun pada UU TNI telah menyiptakan adanya fenomena bottleneck dalam karir prajurit termasuk maraknya perwira non-job.
Penambahan usia pensiun, kata dia, jelas hanya akan menambah ruwet problematika non-job dan akan menyasar pada semua kelompok: Tamtama, Bintara dan Perwira.
Justru, menurut Anton jika berkaca pada kebutuhan prajurit yang harus bugar, sigap dan tangkas, maka TNI semestinya memiliki lebih banyak prajurit aktif yang berusia muda dan produktif.
"Konsekuensinya, batas usia pensiun adalah diturunkan bukan malah dinaikkan," kata Anton.
Terakhir, menurutnua draf ide pemuktahiran UU TNI tersebut berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk posisi Kementerian Pertahanan.
Kesimpulan tersebut, kata dia, setidaknya dapat dilihat dalam dua hal.
Pertama, adanya semangat untuk mengurangi garis koordinasi dengan Kementerian Pertahanan.
Draf tersebut, kata dia, secara eksplisit mengusulkan Kemhan tidak lagi memberi dukungan administrasi pada TNI.