Pengamat Nilai Revisi UU TNI Problematik dan Berpotensi Lemahkan Reformasi Militer
Menurutnya draf tersebut dapat dianggap menciptakan problem baru dikarenakan beberapa hal.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Implikasinya, menurut Anton tentu saja TNI dapat mengelola kebutuhan dan anggaran dengan lebih otonom.
Dalam banyak praktik di negara demokrasi, kata dia, institusi militer jelas berada di bawah pengelolaan kementerian sipil, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.
Ia juga mengingatkan penempatan TNI di bawah Kemhan adalah salah satu capaian dari reformasi TNI.
"Justru semestinya, posisi Kementerian Pertahanan lebih diperkuat sehingga adanya supremasi sipil lebih terlihat," kata Anton.
Kedua, kata dia, capaian reformasi yang juga ingin dianulir dari draf ini adalah terkait Peradilan Militer.
Pasal 65 UU TNI, kata Anton, sejatinya telah mengatur pembagian kekuasaan peradilan militer dan umum.
Implementasi ketentuan tersebut menurutnya masih belum terwujud meskipun UU TNI sudah menginjak usia 18 tahun.
Meskipun demikian, kata dia, semestinya ide ini diperkuat bukan malah ingin dikembalikan seperti narasi sebelumnya.
Adanya pembagian kuasa peradilan militer dan umum menurut Anton tidak sepatutnya diartikan sebagai sebuah hambatan melainkan pintu untuk semakin menebalkan profesionalisme militer yang diterus dibangun selama ini.
"Ide menghapus ketentuan peradilan umum, tidak hanya mengindikasikan kemunduran melainkan melemahkan jalannya reformasi TNI," kata Anton.
Sepintas, kata dia, draf itu juga memuat ide positif yang memperjelas posisi TNI terutama dalam pelaksanaan OMSP.
Usul penggunaan diksi 'mendukung' untuk menggantikan kata 'membantu' dalam rincian Pasal 7 ayat 2 UU TNI, menurut Anton tentu saja baik.
Akan tetapi, kata dia, memandatkan pengaturan OMSP dalam sebuah PP jelas adalah sebuah kekeliruan mengingat pelaksanaan operasi militer membutuhkan keputusan politik negara.
Di sisi lain, kata dia, berkaca dari implementasi UU TNI, pembuatan peraturan turunan guna memperjelas pelaksanaan tugas OMSP hingga kini masih terkatung-katung.
Guna menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu, menurut Anton ada baiknya keinginan merevisi UU TNI untuk dipertimbangkan ulang.
Proses revisi UU TNI, menurutnya hendaknya dilakukan secara lebih partisipatif, hati-hati, cermat dan lebih banyak merespon perkembangan ancaman strategis negara di masa depan.
"Proyeksi keamanan global di era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity atau VUCA jelas membutuhkan payung hukum memadai," kata dia.
"Dan landasan tersebut ditujukan menyiapkan TNI yang semakin profesional dan berorientasi ke luar (outward looking). Karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan masa pembahasan revisi UU TNI terburu-buru dan kilat," sambung dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.