Indonesia Perlu Waspadai Strategi Soft Power China di Kawasan Asia Tenggara
Indonesia disarankan selalu berhati-hati dan mewaspadai strategi kuasa lunak (soft power) China yang dijalankan negara itu di kawasan Asia Tenggara.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Ia pun menyatakan bahwa Tionghoa tidak harus menjadi jembatan dalam hubungan Indonesia dan Tiongkok.
Tuty berpandangan, secara umum upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia kurang memperoleh hasil maksimal. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah narasi yang digunakan yang hanya memperlihatkan keunggulan Tiongkok.
“Narasi itu cenderung mengedepankan ‘keunggulan’ Tiongkok sehingga lebih terasa sebagai upaya ‘sinifikasi’ (pencinaan),” tutur Tuty.
Johanes Herlijanto, pemerhati Tionghoa asal Universitas Pelita Harapan yang juga ketua Forum Sinologi Indonesia menyoroti posisi komunitas Tionghoa dalam upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia.
Sependapat dengan Tuty, Johanes juga menekankan pada adanya upaya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk merangkul komunitas Tionghoa untuk kepentingan peningkatan hubungan Indonesia dan Tiongkok dengan mendorong mereka menjadi jembatan.
Mengutip tulisan Charlotte Setijadi, Johanes mengatakan bahwa setidaknya sebagian dari pebisnis Tionghoa, khususnya dari generasi senior, tidak berkeberatan menjalani peran sebagai jembatan bagi hubungan kedua negara.
Namun yang menarik, ketika Tiongkok ingin merangkul Tionghoa Indonesia lebih dalam lagi, antara lain dengan menekankan hubungan khusus antara Tionghoa dan Tiongkok, sebagian komunitas Tionghoa justru melakukan penolakan.
“Seperti dicatat oleh Profesor Leo Suryadinata dalam berbagai tulisannya, beberapa pengusaha Tionghoa dan kaum muda Tionghoa menolak, bahkan mengkritisi upaya Tiongkok mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan Tiongkok sebagai ‘negeri leluhur,’” tutur Johanes.
Inilah yang menyebabkan Johanes beranggapan bahwa upaya Tiongkok menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian kuasa lunaknya akan sulit terwujud, mengingat di kalangan Tionghoa Indonesia, khususnya generasi muda, berkembang narasi yang mengedepankan keIndonesiaan mereka.
“Anak anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau Chindo,” ujarnya.