Curhat PRT Migran di Taiwan Profesinya Belum Diakui Undang-undang, Rentan Dieksploitasi
PRT Taiwan tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan atau sering disebut sebagai sektor informal.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganas Community) sekaligus pekerja rumah tangga (PRT) migran bernama Fajar mengungkapkan kondisinya sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan.
Fajar menceritakan belum masuknya Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Undang-Undang di Taiwan. Membuat ribuan PMI di Taiwan rentan dieksploitasi dan diperlukan tidak manusiawi.
Baca juga: PRT Migran Taiwan Minta Pemerintah Segera Sahkan RUU PPRT di Indonesia
Adapun hal itu disampaikannya pada diskusi daring bertajuk bertajuk "Suarakan Dukungan: Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, PRT Terlindungi, Pemberi Kerja Terjamin," Kamis, (15/6/2023).
"Sebelum masa pandemi Covid-19 kondisi PMI di Taiwan yang sudah tidak baik-baik dan Covid-19 memperburuk situasi dan kondisi kerja seluruh PMI," cerita Fajar.
Fajar mengungkapkan harapannya setelah pandemi covid berakhir kondisi PMI di Taiwan akan membaik.
Baca juga: Gelar Aksi Rabuan, Belasan Pekerja Rumah Tangga Desak DPR Sahkan RUU PRT Sebelum Pemilu 2024
"Namun ternyata kondisi dan situasi kerja tidak berubah dan saat ini jumlah PMI di Taiwan sudah mencapai 250 ribu orang dan separuhnya sebagai PRT," terangnya.
Kemudian Fajar mengukapkan di Taiwan PRT migran, belum diakui sebagai pekerja. PRT Taiwan tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan atau sering disebut sebagai sektor informal.
"Sehingga tidak ada jaminan dan aturan jam kerja, jam istirahat, hak libur dan aturan upah minimum. Dampaknya sangat serius yaitu dari segi kesehatan fisik mental maupun keuangan," sambungnya.
Tidak adanya upah minimum di Taiwan kata Fajar, menyebabkan kondisi PRT PMI Taiwan tidak stabil, karena gaji dipotong atau tidak dinaikkan sama sekali.
"Saat ini gaji yang kami terima jauh di bawah dari upah minimum pekerja formal dengan selisih hampir 30 persen dan karena tidak dimasukkan dalam Undang-Undang. Kami rentan terhadap eksploitasi dan adanya kerja paksa. Selain itu kami juga sering diperlakukan tidak manusiawi," tutupnya.