Koalisi Masyarakat Sebut KPU Tidak Profesional Dalam Langkahnya Hapus LPSDK
(KPU) RI dinilai Koalisi Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas tidak profesional dalam langkahnya menghapus LPSDK
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dinilai Koalisi Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas tidak profesional dalam langkahnya menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) untuk Pemilu 2024.
Perwakilan koalisi, Valentina Sagala menuturkan, KPU sebagai regulator pemilu seharusnya mempunyai komitmen menyediakan instrumen kerja bagi peserta pemilu untuk terus meningkatkan derajat akuntabilitas laporan dana kampanye.
"Alih-alih bekerja profesional menerbitkan peraturan yang mendorong terwujudnya pemilu berintegritas sebagaimana perintah Pasal 4 huruf b UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum KPU justru meniadakan kewajiban peserta pemilu untuk menyusun LPSDK," kata Valentina dalam konferensi pers yang pihakanya lakukan di Media Centre Bawaslu RI, Jakarta, Senin (19/6/2023).
Lebih lanjut, pihaknya juga menyoroti ihwal KPU yang dalam proses penyusunan peraturan membatasi partisipasi publik melalui uji publik.
Diketahui, uji publik terkait pembuatan Peraturan KPU (PKU) yang memuat soal LPSDK itu hanya berlangsung satu hari saja pada 27 Mei 2023 dengan pemberitahuan mendadak pada perwakilan masyarakat sipil.
"Padahal tradisi hukum yang mewajibkan peserta pemilu untuk menyusun dan melaporkan LPSDK sudah diatur dan diterapkan sejak Pemilu 2014," kata Valentina.
"Dan terus diberlakukan pada Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, Pilkada 2020, dan Pemilu Serentak 2019," sambungnya.
Valentina juga menjelaskan uang dalam politik memiliki peran dan fungsi yang penting untuk dipahami.
Sebab dalam pemilu, uang dapat dimanfaatkan oleh para calon dalam pemilu untuk mendapatkan pengaruh.
Kemudian diubah menjadi sumber daya dalam bentuk lain yang dapat digunakan bersamaan dengan sumber daya lainnya guna mencapai kekuasaan politik yang juga berpeluang melibatkan dan berimplikasi pada kelompok rentan.
Sehingga penghapusan kewajiban peserta Pemilu 2024 menyusun dan melaporkan LPSDK, jelas berpotensi merugikan pemilih, tegas Valentina.
"Termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti pemilih pemula, lansia, disabilitas, komunitas adat, serta melemahkan semangat antikorupsi," tandasnya.
Sebagai informasi, KPU tidak memuat ketentuan mewajibkan pelaporan LPSDK dalam Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye. Beleid itu disetujui oleh Komisi II DPR. Dengan demikian, semua peserta Pemilu 2024 tidak perlu melaporkan dana sumbangan kampanye yang mereka dapat kepada KPU.
Baca juga: Langkah KPU Ganti LPSDK dengan Sidakam Tidak Masuk Akal Sebab Merupakan Dua Instrumen Berbeda
Padahal, kewajiban LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. KPU RI beralasan, penghapusan dilakukan karena LPSDK tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu juga dihapus dengan alasan masa kampanye Pemilu 2024 pendek, yakni 75 hari saja.
KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye akan termuat dalam laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).