Revisi UU TNI Dikhawatirkan Munculkan Kembali Konflik antara Masyarakat dengan Militer
Dijelaskan, Revisi UU TNI sebenarnya sudah ada sejak 2010 dan baru pada tahun 2019 muncul Naskah Akademiknya.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tuntutan Gerakan Reformasi tahun 1998 adalah salah satunya menempatkan TNI kembali ke barak dan dipisahkan dari politik. Namun belakangan ini muncul draft RUU tentang revisi terhadap UU TNI yang dinilai berpotensi bermasalah.
Demikian hal ini disampaikan Direktur LBH Surabaya, Abdul Wahid, dalam diskusi yang digelar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dan IMPARSIAL, Kamis, 27 Juli 2023 bertema “Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia”.
"Draft revisi UU TNI yang beredar saat ini sangat berbahaya karena dapat menguatkan kembali konflik antara masyarakat dengan TNI, menguatkan kembali berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh TNI karena TNI bisa terlibat dalam fungsi non-pertahanan. Padahal fungsi asli militer kita adalah untuk pertahanan," katanya.
Dijelaskan, Revisi UU TNI sebenarnya sudah ada sejak 2010 dan baru pada tahun 2019 muncul Naskah Akademiknya.
Ia melanjutkan, revisi UU TNI ini mencampuradukkan tugas pertahanan dan keamanan.
Sementara sebetulnya harus ada pemisahan yang jelas antara tugas pertahanan dan keamanan, jika tidak maka potensial terjadi konflik.
"Banyak substansi yang bermasalah di dalam draf revisi UU TNI ini salah satunya adalah terkait dengan peradilan militer. Sistem peradilan militer sangat tertutup. Seperti pengalaman LBH ketika mengadvokasi kasus bapak Indra Azwan yang anaknya tewas ditabrak oleh polisi, ketika itu Polri masih di bawah ABRI, dari tahun 1992 sampai sekarang kasusnya tidak selesai," katanya.
Ia mengkritik peradilan militer, yang menurutnya tidak ada praperadilan tidak ada dan juga tidak akuntabel.
"Selain itu juga terdapat penambahan tugas militer selain perang, dari sebelumnya 14 menjadi 19 tugas. Angka yang ke 19 menjadi cek kosong bagi TNI untuk terlibat dalam berbagai urusan keamanan," katanya.
"Isu surplus perwira TNI tidak bisa diatasi dengan penambahan jabatan TNI aktif yang menempati jabatan sipil, melainkan beberapa solusi yang mesti dijalankan secara bersamaan seperti membatasi Sesko TNI, menerapkan meritokrasi sistem dalam kenaikan pangkat, dan membentuk divisi-divisi yang relevan dengan tugas-tugas pertahanan seperti divisi cyber pertahanan."
Menurutnya, masuknya klausul keamanan menjadi tugas TNI itu bertentangan dengan Konstitusi.
Sementara Joko Santoso, Dosen FISIP Universitas Airlangga mengatakan," Kalau kita lihat pada tahun 2019 sudah muncul naskah akademik terkait revisi UU TNI ini. Secara substansi Salah satu kritik RUU TNI adalah terkait diplomasi militer, kalau ini diloloskan maka nanti akan ada diplomat diplomat militer."
Menurutnya, kecil kemungkinan revisi UU TNI ini membawa perubahan yang diharapkan.
Sebaliknya kata dia, perubahan ini justru berpotensi membuka persoalan baru dan arus balik reformasi sektor keamanan yang telah kita upayakan sebelumnya.