Cerita Eks Dirut BAKTI Diusir Ketua Banggar DPR Soal Proyek BTS hingga Singgung Dapil Anggota Dewan
Eks Dirut CAKTI Kominfo cerita komunikasinya dengan Ketua Banggar DPR hingga Komisi I soal anggaran untuk pembangunan ribuan tower BTS 4G.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif mengungkapkan adanya komunikasi antara dia dengan Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR), Said Abdullah.
Komunikasi itu berkaitan dengan ketersediaan anggaran untuk pembangunan ribuan tower BTS 4G yang merupakan proyek strategis nasional.
Tak hanya dengan Ketua Banggar, komunikasi juga diupayakan ke Komisi I DPR. Namun tak disebutkan siapa perwakilan Komisi I DPR yang ditemunya.
"Saat itu memang ketika presiden sudah menyetujui program percepatan pembangunan infrastruktur digital, persoalan selanjutnya adalah ketersediaan anggaran. Saya mencoba melakukan komunikasi, baik ke Komisi I, hingga datang ke Pak Said Abdullah," ujar Anang Achmad Latif dalam keterangannya sebagai saksi mahkota bagi terdakwa Irwan Hermawan, Galumbang Menak, dan Mukti Ali.
Namun saat menemui Said Abdullah, Anang Latif justru diusir.
Sebab, anggaran sudah disusun untuk tahun periode 2020, sehingga Anang Latif dianggap terlambat.
"Pada saat itu pertanyaannya Pak Said, 'Kenapa enggak pak menteri yang ada di sini? kamu pergi sana! Sudah terlambat semuanya,'" ujarnya.
Kemudian Anang Latif melaporkan kejadian tersebut kepada Menkominfo yang saat itu dijabat Johnny G Plate.
Setelah melapor, Johnny Plate melalui stafnya, Dedy Permadi berkomunikasi melalui pesan teks kepada Anang Latif.
Di antara isinya, terdapat kalimat yang menyatakan bahwa DPR menyetujui untuk menganggarkan proyek BTS ini pada tahun berikutnya, yakni 2021.
Namun BAKTI diminta untuk menjaga komitmen para anggota dewan.
"Prinsipnya DPR sudah menyetujui anggaran 2021. Jadi mohon dapat koordinasi dengan Banggar untuk 'menjaga' komitmen DPR ini," sebagaimana isi komunikasi staf Johnny G Plate dengan Anang Latif.
Menurut Anang, komitmen yang dimaksud berkaitan dengan daerah pemilihan (dapil) para anggota dewan.
"Karena pembangunan BTS ini menyangkut Dapil para anggota DPR, sehingga itu merupakan program yang mereka tunggu-tunggu untuk di Dapil mereka masing-masing," kata Anang.
Sebagai informasi, dalam kasus BTS ini sudah ada enam orang yang duduk di kursi pesakitan: eks Menkominfo, Johnny G Plate; eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif; Tenaga Ahli HUDEV UI, Yohan Suryanto; Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Tiga di antaranya, yakni Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan tak hanya dijerat korupsi, tapi juga tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kemudian ada dua orang yang perkaranya tak lama lagi dilimpahkan ke pengadilan, ialah Direktur Utama Basis Investments, Muhammad Yusrizki Muliawan dan Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama.
Yusrizki dijerat pasal korupsi, sedangkan Windi Purnama TPPU.
Lalu seiring perkembangan proses persidangan, ada empat tersangka yang telah ditetapkan, yakni: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BAKTI Kominfo, Elvano Hatohorangan; Kepala Divisi Backhaul/ Lastmile BAKTI Kominfo, Muhammad Feriandi Mirza; Direktur Utama PT Sansaine Exindo, Jemmy Sutjiawan; dan Tenaga Ahli Kominfo, Walbertus Natalius Wisang.
Keempatnya dijerat dugaan korupsi dalam kasus BTS ini.
Baca juga: Pegawainya Disebut Terima Aliran Dana Rp40 Miliar dari Kasus Korupsi BTS Kominfo, Begini Respons BPK
Terkhusus Walbertus, selain dijerat korupsi juga dijerat dugaan perintangan proses hukum.
Mereka yang dijerat korupsi, dikenakan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian yang dijerat TPPU dikenakan Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara yang dijerat perintangan proses hukum dikenakan Pasal 21 atau Pasal 22 Jo. Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.