Bisakah Jokowi yang Bukan dari Trah Soekarno Gantikan Megawati Jadi Ketum PDIP? Ini Kata Pengamat
Pengamat Politik UGM, Nyarwi Ahmad buka suara soal peluang Jokowi yang diusulkan menjadi Ketum PDIP menggantikan Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Daryono
“Merupakan "sentilan karambol", di mana satu hantaman tapi dua pihak terkena pukulan. Statement Mega itu tampaknya memang dialamatkan kepada keluarga Jokowi," kata Khoirul Umam dalam keterangannya, Senin (2/10/2023).
Umam menduga kalimat Megawati berkaitan dengan peristiwa manuver politik anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang lebih memilih bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga lantas menjadikannya sebagai Ketua Umum PSI.
“Itu besar kemungkinan ditujukan pada manuver politik Kaesang di PSI, yang dinilai tidak sesuai dengan model kaderisasi ala PDIP."
"Bagi Megawati, proses penetapan figur politisi sebagai ketua umum partai politik ala Kaesang dinilainya merepresentasikan pola rekrutmen dan kaderisasi yang karbitan dan tidak mencerminkan nilai-nilai perjuangan, loyalitas dan kegigihan yang ditanamkan PDIP," papar dosen senior Departemen Ilmu Politik dan Studi Internasional Universitas Paramadina Jakarta ini.
Baca juga: Nama Kuat Non-Trah Soekarno di Bursa Ketum PDIP : Jokowi dan Budi Gunawan
Terlepas dari itu, sambung Umam, pernyataan ini menegaskan bahwa Megawati ternyata memang memiliki perhatian besar terhadap manuver politik Kaesang di PSI tersebut.
Dalam tradisi politik Jawa, lanjutnya, bisa jadi sentilan Megawati ini merupakan manifestasi kemarahan dan kekecewaan Megawati yang disampaikan dengan ekspresi sentilan yang diperhalus, terhadap Kaesang dan keluarga Jokowi yang mengabaikan AD/ART PDIP dan lebih memilih PSI.
“Selain itu, statement Megawati itu juga bisa jadi dialamatkan kepada Jokowi yang beberapa hari lalu namanya diusulkan oleh Guntur Soekarnoputra sebagai ketua umum PDIP selanjutnya, menggantikan Megawati."
"Jika benar, maka statemen Megawati ini bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap usulan Guntur tersebut”, imbuh Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) ini.
Menurut Umam, sejak awal Megawati telah mewanti-wanti para kadernya, termasuk Capres Ganjar Pranowo, untuk tidak ikut campur dalam suksesi kepemimpinan PDIP.
Baca juga: Puan Maharani Dinilai Tepat Jadi Ketum PDIP setelah Megawati, Namun Belum Pasti untuk Pilpres 2024
Hal itu konon, tambahnya, termaktub dalam dokumen perjanjian yang ditandatangani Ganjar saat menerima mandat sebagai Capres dari PDIP.
“Selain itu, usulan Guntur juga dipandang agak bias kepentingan dan subjektivitas politik pribadinya yang terkesan ingin membersihkan PDIP dari trah keluarga Megawati," terang Umam.
Sehingga Umam melihat sebagai sebuah hal yang wajar, jika sejak awal Guntur yang juga merupakan anggota keluarga besar Soekarno, berani menolak secara mentah-mentah rencana pencapresan atau pencawapresan Puan Maharani.
“Karena itu, dalam konteks suksesi kepemimpinan PDIP, Megawati benar-benar menekankan pentingnya proses kaderisasi berjenjang di PDIP, sehingga dalam berbagai kesempatan Megawati dan PDIP menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Jika Jokowi justru terpancing mengikuti masukan Guntur, maka ia bisa dituduh "dikasih hati malah minta jantung"," pungkas Umam.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Reza Deni)