Pakar Hukum: Kasus Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem
Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda yang disebut telah merugikan negara hingga Rp8,8 triliun.
Dalam hal ini Emirsyah Satar menjadi tersangka korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600.
Sama seperti kasusnya di Komisi Pemberantasan Korupsi, Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).
Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut pun menjadi sorotan.
Pasalnya, perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beririsan.
Bahkan diduga dalam kasus ini berlaku Ne Bis In Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.
Lantas bagaimana dengan kasus eks Dirut Garuda Emirsyah Satar? Apakah benar berlaku Ne Bis In Idem oleh Kejagung?
Terkait hal ini, pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, turut angkat bicara.
"(Terkait kasus Emirsyah Satar) sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada atau berinti pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkap Ficar di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Lebih lanjut menurut Abdul Ficar, jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.
"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Korupsi tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," ujar Abdul Ficar.
Kemudian, lanjut dia, fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.
"Karena itu kemudian kita harus melihat ketentuan yang mengatur mengenai Ne Bis In Idem itu. Ne Bis In Idem diatur dalam Pasal 76 itu dinyatakan bahwa kecuali dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut 2 kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Artinya sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," jelas Abdul.
Oleh karena itu, menurutnya, jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya lalu dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem. Kecuali jika objeknya memang berbeda.