Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Hukum: Kasus Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem

Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Pakar Hukum: Kasus Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem
Wartakota/henry lopulalan
Emirsyah Satar (tengah) mendengarkan keterangan saksi saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jalan Bunggur, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2020). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda yang disebut telah merugikan negara hingga Rp8,8 triliun.

Dalam hal ini Emirsyah Satar menjadi tersangka korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600. 

Sama seperti kasusnya di Komisi Pemberantasan Korupsi, Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut pun menjadi sorotan. 

Pasalnya, perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beririsan. 

Bahkan diduga dalam kasus ini berlaku Ne Bis In Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.

Lantas bagaimana dengan kasus eks Dirut Garuda Emirsyah Satar? Apakah benar berlaku Ne Bis In Idem oleh Kejagung

Berita Rekomendasi

Terkait hal ini, pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, turut angkat bicara.

"(Terkait kasus Emirsyah Satar) sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada atau berinti pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkap Ficar di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Lebih lanjut menurut Abdul Ficar, jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.

"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Korupsi tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," ujar Abdul Ficar.

Kemudian, lanjut dia, fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.  

"Karena itu kemudian kita harus melihat ketentuan yang mengatur mengenai Ne Bis In Idem itu. Ne Bis In Idem diatur dalam Pasal 76 itu dinyatakan bahwa kecuali dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut 2 kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Artinya sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," jelas Abdul.

Oleh karena itu, menurutnya, jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya lalu dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem. Kecuali jika objeknya memang berbeda.

"Mungkin kalau dari satu rangkaian yang sama diceritakan oleh penasihat hukum (Emirsyah Satar) itu ada lima perbuatan pengadaan pesawat yang oleh KPK dijadikan dasar untuk menuntut gratifikasinya, penerimaannya, tetapi di dalam dakwaan Kejaksaan menurut informasi dari kuasa hukum tadi, yang dijadikan hanya 2 perbuatan pengadaan. Jadi dua dari lima yang pernah dituntut KPK. Karena itu kemudian saya jadi langsung menyimpulkan ini sebenarnya mengadili perbuatan yang pernah diadili," kata Abdul Ficar.

"Yang di dakwaan pertama itu didasarkan pada gratifikasi yang diterima dari 5 pengadaan pesawat dan ternyata oleh Kejaksaan itu diambil dua kemudian dijadikan dakwaan baru, yang pasalnya sebenarnya juga jadi berhimpitan. Karena itu saya cenderung (berpendapat) bahwa kasus ini tuh sebenarnya Ne Bis In Idem atau pengulangan dari yang pernah didakwakan atau dihukum. Bahkan hukumnya sudah punya kekuatan hukum tetap dan sudah dijalankan," lanjutnya.

Karena itu, Dosen FH Universitas Trisakti itu pun menilai bahwa peradilan kasus korupsi Garuda yang kedua oleh Kejagung ini sebenarnya merupakan perbuatan yang sudah ada putusannya.

"Saya menyimpulkannya sebagai Ne Bis In Idem," tandasnya.

Ia pun mempertanyakan apa tujuan penyidik Kejaksaan dalam kasus ini, khususnya dalam konteks penegakan hukum pidana. Sebab, kata dia, penegakan hukum harus yang relevan untuk diajukan.

"Semisal, apakah akan memenuhi rasa keadilan jika seorang terdakwa dituntut berkali-kali atau setidaknya dua kali dalam konteks satu rangkaian perbuatan yang sama, dengan memisahkan penuntuitan terhadap perbuatan juga dilakukan penuntutan terhadap akibatnya. Dalam tindak pidana korupsi misalkan, apakah memenuhi rasa keadilan jika seseorang pejabat negara yang sudah dihukum karena melakukan penyalahgunaan wewenang dan menerima pemberian  dari orang lain dan dihukum dengan pasal gratifikasi, harus dituntut lagi dengan pasal perbuatan melawan hukum yang merugikan negara? Bukankah sipelaku sudah dijatuhi sanksi hukuman atas rangkaian perbuatannya? Ini jelas melanggar prinsip Ne Bis In Idem," kata dia.

"Nampaknya peristiwa ini akan terjadi, hari-hari ini seorang mantan direksi BUMN akan diadili untuk kedua kalinya atas dasar satu rangkaian perbuatan yang sama. Peristiwa ini akan menjadi batu ujian bagi progresifitas peradilan pidana kita. Semoga peradilan kita  akan berani melakukan terobosan yang mencerahkan dan menggembirakan," imbuhnya.

Baca juga: Presiden Jokowi Disebut Bakal Jadi Inspektur Apel Hari Santri 2023, Gus Yaqut Komandan

Diketahui, Emirsyah Satar disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.

Sementara itu, diketahui sebelumnya di KPK, kasus yang memidanakan Emirsyah selama 8 tahun penjara adalah terkait dengan suap-menyuap dan gratiffikasi pengadaan proyek pembelian Total Care Machine Program Trent Roll-Royce 700, Airbus A330-300/200, dan Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, anak perusahaan GIAA, serta pesawat CRJ 1000, serta ATR 72-600.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas