Ikrar: Keputusan MK Soal Usia Capres dan Cawapres Tragedi bagi Demokrasi
Ikrar pun merujuk contoh Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun sehingga akarnya kuat di mana-mana, terutama di Golkar, TNI dan Polri.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti menilai, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan usia minimum capres/cawapres kurang dari 40 tahun asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebuah kemunduran, bahkan tragedi bagi demokrasi di Indonesia.
"MK memutar mundur jarum jam sejarah ke era sebelum reformasi. Ini sebuah kemunduran demokrasi, bahkan tragedi bagi demokrasi di Indonesia," kata Ikrar Nusa Bhakti kepada media, Selasa (17/10/2023) malam.
Keputusan MK yang kontroversial itu dinilai berbagai pihak untuk memberikan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta, Jawa Tengah, yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo untuk menjadi cawapres.
Apalagi, pria yang baru berusia 36 tahun tersebut mengaku ditawari capres dari Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menjadi cawaptesnya di Pemilihan Presiden 2024.
"Jokowi adalah the best president (presiden terbaik) sepanjang sejarah Indonesia dalam hal pemerataan pembangunan. Tapi kalau mengizinkan Gibran menjadi cawapres, Jokowi akan lebih buruk dari Soeharto, " cetus Ikrar yang pernah diangkat Presiden Jokowi sebagai Duta Besar RI untuk Tunisia.
"Seperti Soeharto yang menyatakan berhenti dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, Jokowi pun akan 'hard landing' bahkan 'crash landing' jika mengajukan Gibran di Pilpres 2024," lanjutnya.
Ikrar pun merujuk contoh Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun sehingga akarnya kuat di mana-mana, terutama di Golkar, TNI dan Polri.
"Namun ketika rakyat sudah tidak menghendaki, menterinya ramai-ramai mundur. Bahkan Harmoko yang waktu itu Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR/MPR meminta Soeharto untuk mundur. Siapa pula yang memerintahkan gerbang DPR/MPR dibuka untuk demonstran menjelang Soeharto lengser? Wiranto (Panglima ABRI saat itu, red). Jadi, TNI/Polri pun tidak akan mendukung Presiden yang sudah tidak dikehendaki oleh rakyat," terangnya.
Jadi, lanjut Ikrar, selain tragedi bagi demokrasi, MK juga akan menciptakan tragedi bagi Presiden Joko Widodo dan keluarganya. "Pasca-putusan MK bisa jadi mahasiswa-mahasiswa akan turun ke jalan menetang politik dinasti Jokowi. Bahkan akan meminta Jokowi mundur, " cetusnya.
Jokowi yang saat ini masih memegang jabatan Presiden dinilai Ikrar bisa mengendalikan TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) dan sebagainya.
"Tapi kalau sudah tidak dikehendaki rakyat karena membiarkan Gibran menjadi cawapres, niscaya TNI, Polri dan BIN serta para menterinya tidak akan mendukung Jokowi lagi. Jadi, ini yang harus diingat dan diwaspadai Jokowi. Eling lan waspada," sarannya.
Ikrar mengaku tidak menentang politik dinasti, karena di negara-negara lain pun hal itu terjadi, termasuk di Amerika Serikat di mana ada keluarga John F Kennedy dan George Bush.
"Politik dinasti sah-sah saja asalkan dilakukan secara wajar, alamiah, bukan rekayasa. Semua orang tahu dari bocoran-bocoran sebelum MK membacakan keputusannya, dan juga melalui dissenting opinion (pendapat berbeda) Wakil Ketua MK Saldi Isra bahwa keputusan atas gugatan yang diajukan mahasiswa UNS itu penuh kejanggalan. Apalagi Ketua MK Anwar Usman punya hubungan kekerabatan sangat dekat dengan Presiden Jokowi sebagai ipar," terangnya.
Ikrar kemudian menyarankan Jokowi agar tidak mengizinkan Gibran menjadi cawapres, baik bagi Prabowo atau pun Ganjar Pranowo, capres dari PDI Perjuangan.
"Ini supaya Jokowi meninggalkan legacy (warisan) yang baik, terutama perhatiannya kepada wilayah terluar, terdepan dan terkebelakang seperti Papua. Jangan gara-gara Prabowo meminta Gibran jadi cawapres lalu Jokowi lupa daratan. Harus eling lan waspada," tandasnya.