Jelaskan Hukum dan Etika, Jimly Singgung Soal Putusan MKMK Digugat ke PTUN
Jimly Asshidiqqie mengatakan, putusan peradilan etik tidak bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie mengatakan, putusan peradilan etik tidak bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Awalnya, Jimly menuturkan, hubungan antara etika dan hukum tidak bisa dilihat secara vertikal atas dan bawah, melainkan luar dan dalam.
"Yang luarnya itu hukum, dalamannya itu etika," ucap Jimly, dalam Kuliah Kebangsaan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika yang digelar MK secara daring, pada Jumat (26/1/2024).
Jimly juga menyebut, hukum ibarat kapal, sedangkan etika adalah samuderanya.
"Artinya, etika itu lebih luas. Jadi dia menjadi basis moral kehidupan norma hukum," jelasnya.
Oleh karena itu, kata Jimly, hukum dan etika tidak bisa dipisahkan. Namun, di sisi lain juga tidak boleh dicampuradukkan.
"Kita boleh bedakan, tapi jangan dicampuradukkan," jelasnya.
Terkait hal itu, Jimly kemudian menyinggung putusan MKMK yang tidak bisa digugat ke PTUN.
Hal ini duduga terkait gugatan Hakim Konstitusi Anwar Usman di PTUN Jakarta terhadap SK pengangkatan Ketua MK Suhartoyo, sebagai tindaklanjut putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mencopot jabatan Anwar sebagai ketua MK.
Jimly mengatakan, peradilan hukum tidak bisa menilai putusan peradilan etika.
"Misalnya, putusan MKMK membuat putusan, si A melanggar etika. Lalu, misalnya yang bersangkutan ke pengadilan TUN. Oleh pengadilan TUN dibilang, 'lho, dia kan tidak melanggar hukum. Dia enggak boleh diberhentikan'," katanya.
"Itu artinya pengadilan hukum itu menilai dari segi ada atau tidaknya pelanggaran hukum. Itu enggak nyambung," ucap Jimly.
Lebih lanjut, menurutnya, segala sesuatu yang melanggar hukum, besar kemungkinan melanggar etik. Meski, hal tersebut tidak mutlak.
"Jadi Saudara, dalam praktik, ada kasus di mana peradilan hukum dan peradilan etik itu enggak ketemu. Tidak otomatis pelanggaran hukum adalah pelanggaran etik. Tetapi, lebih-lebihnya itu adalah tidak semua yang melanggar etika harus melanggar hukum," kata Jimly.
Untuk diketahui, SK Pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK merupakan tindaklanjut dari putusan MKMK, yang satu di antaranya mengatur pencopotan Anwar Usman dari jabatan pimpinan MK.
Pencopotan itu diberikan imbas Anwar Usman memutus perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diduga mengandung konflik kepentingan. Anwar diduga memuluskan langkah keponakannya sekaligus putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju di Pilpres 2024.