Prakerja dan Asa Perempuan di Tapal Batas Negeri
Wendriaty Laune Mangole (34) menceritakan kisahnya untuk bisa berdaya demi perbaikan nasib orang tuanya.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
Beasiswa dari Pemerintah India, yakni Indian Council for Cultural Relation (ICCR) pun diincarnya untuk menimba ilmu di bidang sejarah.
Alasannya sederhana, ingin membuktikan bahwa kampung halamannya merupakan desa tertua di Talaud.
"Mau S3 di India ambil jurusan Sejarah karena ingin membantu ayah yang kebetulan ketua adat di kampung untuk membuktikan bahwa Desa Bannada adalah kampung tertua di Kabupaten Kepulauan Talaud," ujarnya.
Tindak Lanjut Manajemen Prakerja
Kisah Wendri hanyalah satu dari 30 alumni Prakerja Talaud yang tak main-main perjuangannya untuk meningkatkan kualitas hidup, bahkan sampai berdampak ke sekitar.
Dari kisah para alumni di batas negeri, Manajemen Prakerja kemudian bertekad untuk terus mempertahankan pelatihan-pelatihan yang memang dibutuhkan masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Jenis-jenis pelatihan yang terkesan "white collar" memang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing di kancah internasional, seperti Artificial Intelligence (AI) dan cyber security.
Namun bagi masyarakat di wilayah 3T seperti Wendri, daripada AI dan cyber security, pelatihan administrasi dan kewira usahaan jauh lebih dibutuhkan.
"Ini sebenarnya memperkuat konklusi kita bahwa pelatihan prakerja tidak boleh terlalu elitis. Sekarang sebenarnya kita sudah benar positioning-nya bahwa kita punya pelatihan (Microsoft) Word sampai denan pelatihan AI atau cyber security atau bahkan menggunakan Chat GPT untuk digital marketing," ujar Direktur Eksekutif PMO Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari dalam wawancara khusus di Manado pada Minggu (17/3/2024) malam.
Menurut Denni, Indonesia terlalu besar untuk sekadar di-capture menggunakan data.
Karena itu, turun langsung ke pelosok-pelosok, termasuk tapal batas negeri merupakan sebuah keniscayaan.
Hal itu mesti dilakukan untuk menghindari bias pandangan pihaknya sebagai perwakilan pemerintah pusat yang lama hidup di kota besar.
"Bagaimana kita bisa wise, bukan kemudian sekadar rely on data yang available. Enggak bisa. Indonesia ini terlalu besar untuk kita secara naif, 'Oh saya berdasarkan data yang ada,' Tidak bisa. You akan bias terhadap top piramida. Sementara yang kita mau upayakan untuk mengangkat kemampuan itu justru yang PR besar kita itu yang menengah, yang nanggung sebenarnya," katanya.