Tim Hukum PDIP: MPR Silakan Lantik Prabowo, Gibran Tidak
Tim Hukum PDIP mempersilakan MPR RI melantik Prabowo sebagai presiden tapi Gibran jangan dilantik sebagai wakil presiden RI.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP), Prof. Gayus Lumbuun angkat bicara soal langkah PDIP hingga mengajukan permohonan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dimana, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak pemohonan sengketa hasil Pilpres pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Gayus pun menilai masih ada lembaga-lembaga di luar MK yang bisa mengadili dari proses tahapan Pemilu.
Hal itu disampaikan Gayus Lumbuun saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews.com, Palmerah, Jakarta, Senin (6/5/2024).
"Tetapi ada jenis lain yang disebut sebagai proses pemilu atau tahapan-tahapan pemilu yang juga bermasalah menjadikan sengketa. Ini diatur di Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019. Ini juga undang-undang ya, peraturan lembaga itu undang-undang," kata Gayus.
"Kalau tadi yang saya bilang tadi adalah tahapan-tahapan yang diduga menyimpang. Itu harus didahului dengan satu upaya administrasi yaitu Bawaslu. Nah, yang ketiga adalah perbuatan dari pelaksananya yaitu aparatur penjelenggara negara yang bernama KPU. Melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum oleh penyelenggara yang memiliki kekuasaan terhadap proses pemilu," sambung dia.
Baca juga: Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran: Kita akan Kawal dengan Cara Lain
Mantan hakim Mahkamah Agung (MA) ini pun menegaskan bahwa pihaknya tak mempermasalahkan putusan MK, sebab sudah final and binding.
Namun, pihaknya mempermasalahkan kepada penyelenggaranya, yakni KPU RI, yang disebut melakukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yaitu bernama onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum.
"Nah, ini mau diatur secara spesifik kemudian ini dilakukan di PTUN. Kami mengambil langkah ini, sehingga kami tidak mencampuri masalah hasil pemilunya yaitu oleh MK, itu final binding, semua orang harus menghormati, kami juga menghormati putusannya itu," ucapnya.
"Kemudian kami juga tidak mempersoalkan tahapan-tahapan pemilu yang disiarkan harus melalui Bawaslu. Tetapi kami, Bawaslu kemudian PTUN, lanjutannya. Tapi kami lebih fokus kepada adanya pelanggaran hukum oleh penyelenggara," lanjutnya.
Gayus juga menyinggung putusan MK no 90/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Menurut dia, melalui putusan itu, hakim MK diputus melanggar etik karena mengeluarkan putusan itu.
Selain itu, putusan itu pun menjadi langkah KPU RI menerima pemdaftaran Gibran sebagai Cawapres. Padahal, menurutnya, aturan itu seharusnya tak berlaku surut.
Di mana, aturan tersebut baru bisa dijalankan pada penyelenggaran Pemilu di tahun berikutnya.
Gayus juga mengatakan, pihaknya siap membawa bukti-bukti kuat soal gugatan terhadap KPU.
"Saya menemukan surat-surat KPU kepada parpol-parpol, kepada KPUD-KPUD untuk melaksanakan yang salah ini. Isi putusan nomor 90 itu ya. Itu yang prinsip. Nanti pasti banyak lagi tentu akan saya buka di pengadilan selanjutnya di PTUN," terangnya.
Sementara itu, terkait gugatan di PTUN, Gayus memastikan bahwa hal tersebut telah didiskusikan lebih dulu dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Dia juga mengungkapkan pesan yang disampaikan Megawati terkait gugatan tersebut.
"Sebagai Ketua Umum dalam pertemuan kami yang pertama kali untuk masalah ini, beliau hanya mewanti-wanti untuk betulnya hukum mengatur seperti yang kami sampaikan," jelasnya.
Berikut petikan wawancara lengkap dengan Gayus Lumbuun bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra:
Prof, kita mau tahu dari Profesor, ini kayaknya PDI Perjuangan ini belum move on juga terkait dengan Pilpres 2024 hingga mengajukan permohonan ke PT UN. Bisa dijelaskan lho, dasarnya apa mengajukan ke PTUN?
Jadi pertama-tama saya harus menjelaskan dengan lengkap bahwa sengketa pemilu itu tidak diadili oleh satu lembaga saja atau lembaga peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi. Masih ada lembaga-lembaga di luar MK yang bisa mengadili dari proses tahapan pemilu juga.
Yang tadi MK itu adalah hasil suara yang memenangkan salah satu pasangan. Tetapi ada jenis lain yang disebut sebagai proses pemilu atau tahapan-tahapan pemilu yang juga bermasalah menjadikan sengketa. Ini diatur di Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019. Ini juga undang-undang ya, peraturan lembaga itu undang-undang.
Nah, yang ketiga juga ada yang lain. Kalau tadi yang saya sameng kedua tadi adalah tahapan-tahapan yang diduga menyimpang. Itu harus didahului dengan satu upaya administrasi yaitu bawaslu.
Nah, yang ketiga adalah perbuatan dari pelaksananya yaitu aparatur penjelenggara negara yang bernama KPU. Melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum oleh penyelenggara yang memiliki kekuasaan terhadap proses pemilu.
Ini berbeda, ini juga di PTUN tapi tidak harus melalui bawaslu.
Yang dipersoalkan dari keputusan KPU tanggal 24 itu apanya, Prof?
Saya tidak melihat keputusan yang sebutnya final binding, yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Tapi saya kepada penyelenggaranya, yang disebut melakukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa yaitu bernama onrechtmatige daad.
Perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Nah, ini mau diatur secara spesifik kemudian ini dilakukan di PTUN.
Kami mengambil langkah ini, sehingga kami tidak mencampuri masalah hasil pemilunya yaitu oleh MK, itu final banding, semua orang harus menghormati, kami juga menghormati putusannya itu.
Kemudian kami juga tidak mempersoalkan tahapan-tahapan pemilu yang disiarkan harus melalui bawaslu. Tetapi kami, bawaslu kemudian PTUN, lanjutannya. Tapi kami lebih fokus kepada adanya pelanggaran hukum oleh penyelenggara.
Itu bentuknya apa, Prof? Pelanggaran hukum atau perbuatan pelanggaran hukum itu apa di antaranya?
Banyak sekali, tapi di antaranya satu yang harus saya menyampaikan adalah ketika ada putusan MK yang diputuskan oleh MK, dikenal dengan nomor 90 tahun 2023. Ini jelas sekali melanggar ketentuan, norma hukum yang berlaku. Dan itu diputuskan juga oleh MKMK yang mengadili, menyatakan bahwa ada pelanggaran oleh KPU, oleh hakim ketika itu.
Bahkan pimpinan atau ketua majelis itu dikena sansi untuk pemberhentian sebagai ketua. Tidak boleh ikut menangani atau mengadili perkara yang berjalan selanjutnya. Nah, itu yang utama.
KPU menerima itu dengan utuh. Tidak menentui undang-undang, di mana di antara undang-undang 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan undang-undangan di pasal 10 ayat 1 dan 2 itu jelas menegaskan kalau ada perubahan-perubahan undang-undang harus melalui DPR yang tentunya disitu akan ada pendapat umum. Masalah diberi kesempatan itu kalau dibahas itu.
Ini tidak langsung ditetapkan. Yang paling fatal adalah ditetapkan serta merta diberlakukan. Semua akses hukum menentukan semua proses yang baru terhadap proses hukum yang berjalan ada perubahan hukumnya tidak berlaku surut.
Harus nanti tahun depan pemilu depan baru bisa digunakan.
Maksudnya menurut norma hukum harusnya keputusan itu berlaku kemudian ya?
Kalaupun itu dilakukan ternyata KPU tidak melakukan itu. Kalaupun melakukan tetap tidak untuk tahun ini, tahun yang sedang berjalan ini tetapi tahun berikutnya.
Dua hal ini menjadi kefatalan bagi sebuah perbuatan penyelenggara negara yang bernama KPU yang perlu saya minta kepastian atau keadilan dari PTUN.
Jadi KPU itu harusnya tidak memberlakukan putusan MK nomor 90 tahun 2023 itu begitu saja tapi harus lewat satu prosedur kemudian berlakunya di pemilu kemudian?
Itu pun kalau dibahas ke DPR. Jadi bahkan tidak dibahas ke DPR, kalaupun dibahas ke DPR dan Presiden ikut serta di situ, kalaupun tidak anggap benar ini juga harus diberlakukan perspektif.
Lalu selain kesalahan itu KPU, kesalahan apa lagi yang dilakukan KPU terkait dengan proses pemilihan Presiden ini?
Saya menemukan surat-surat KPU kepada parpol-parpol, kepada KPUD-KPUD untuk melaksanakan yang salah ini. Isi putusan nomor 90 itu ya. Itu yang prinsip.
Nanti pasti banyak lagi tentu akan saya buka di pengadilan selanjutnya di PTUN.
Prof kalau boleh saya tahu apakah langkah di PTUN ini juga disetujui atau Bu Mega ikut memberikan masukan?
Ketika kami anggota PDI Perjuangan yang fokus pada perkara-perkara yang berjalan kami menghadap ke beliau dan beliau memberi persetujuan untuk partai memberikan surat kuasa.
Prof kalau boleh saya tahu ide itu berasal dari Bu Mega lebih dulu atau dari teman-teman kuasa hukum, dari orang-orang yang mendalani hukum di PTUN?
Dari kami-kami. dari kami anggota-anggota.
Prof dulu diajukan ke Bu Mega. Bu Mega oke gitu ya? Kalau boleh saya tahu juga Prof apakah ada pesan-pesan tertentu dari Bu Mega terkait dengan perkembangan di PTUN ini?
Sebagai Ketua Umum dalam pertemuan kami yang pertama kali untuk masalah ini beliau hanya mewanti-wanti untuk betulnya hukum mengatur seperti yang kami sampaikan.
Prof bisa diceritakan awalnya kan petitum yang diajukan tim hukum dari PDI Perjuangan itu adalah membatalkan pendaftaran Gibran Rakabuming di KPU padahal waktu itu PKPU-nya belum diubah. Lalu kemudian petitum itu diubah itu gimana ceritanya Prof kok bisa berubah ini?
Karena ketika kami cuatkan bentuk yang akan kami capai dan kami harapkan itu muncul kemudian belum berjalan atau belum dipahami oleh KPU mungkin dari respon KPU yang lain berjalan terus hingga penatapan. Jadi isi penatapan itu hasil dari putusan MK yang tidak bisa dirubah oleh siapapun maka kami merubah menjadi mundur dari harapan kami itu pada pelantikan.
Karena pelantikan ini pun harus dibatasi kepada orang yang melanggar hukum. Yang melanggar ini bukan pasangan, setengah pasangan. Yaitu cawapres ketika itu yang sekarang menjadi wapres itu berindikasi kami temukan pelanggaran-pelanggaran yang fatal tadi bukan oleh bersangkutan tapi oleh rakan-rakan yang bernama KPU.
Tapi beliau biasa saja juga tidak memahami sehingga terus berlaku putusan MK.
Jadi yang dihendaki nanti yang tidak dilantik itu hanya wapresnya saja atau dua-duanya?
Hanya wapres saja.
Oh jadi wapres saja. Jadi presiden boleh?
Karena presiden terpilih tidak diindikasikan ada pelanggaran hukum.
Kami tidak mendapatkan indikasi adanya pelanggaran hukum oleh KPU menetapkan.
Jadi Pak Prabowo silahkan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia 2024-2029, Gibran tidak bisa. Karena itu tadi ada proses catat hukum dalam prosedur ketika dia menjadi cawapres. Tapi memang di dalam aturan main atau dalam faksunya hukum tentang negara mungkin ya Pak?
Di negara lain terjadi berkali-kali di negara lain.
Di Afrika misalnya itu ada satu negara yang membatalkan dan mengulang karena ditemukan catat hukum. Tidak adil kalau sesuatu ini berlaku.
Saya kaitkan satu saja dari pelantikan. Di pelantikan itu ada sumpah.
Apa bisa disumpah terhadap perkara yang ada catat hukumnya. Lalu sumpahnya bagaimana isinya. Kalau sudah sumpah habis itu lantik.
Itu uran-uran tahapan-tahapan dari hukum yang logik. Proses hukum yang logika itu adalah ya kalau pelantikan tentu diawali kelengkapan disumpah. Ada disitu pakta integritas dan sebagainya.
Kalau ini tidak dilakukan otomatis pelantikan juga tidak bisa dilakukan.
Prof kalau begitu Republik ini kan membutuhkan wapres juga kan. Lalu gimana nanti kalau memang kemudian ternyata memang tidak dilantik menurut pengetahuan wapresnya, wapresnya yang milih apa? Apakah itu di forum MPR atau gimana?
Oleh karena itu kami menunjuk atau menyebut MPR. Lembaga Musyawarah Rakyat yang tertinggi dalam paripurnanya.
Nah kami mengspil tapi jangan disikapi dulu oleh anggota-anggota MPR termasuk pimpinan, jangan. Ini bukan personal sebagai wakil ketua atau ketua atau anggota. Tapi ini forum.
Maka forum gagas adalah membuat surat yang nanti disikapi secara ketentuan yang ada. Ada sembilan rapat paripurna, ada sembilan rapat MPR yang diatur di undang-undang. Ya itu terserah yang mana.
Apakah rapat bersama antara MPR, DPR, DPD termasuk BI dan DPKP. Itu rapat lengkapnya begitu. Nah terserah.
Itu kan organ lembaga tinggi negara. Apa dikusertakan atau seperti apa itu mereka ada di MPR. Tapi sebagai kumpulan rakyat, masyarakat. Kami mengajukan kepada musyawarah ini.
Prof, kalau boleh saya tahu. Ini berandia tapi putusannya antara diterima dan ditolak ya. Kalau ditolak apakah PDIP, tim kuasa hukum akan mengajukan upaya hukum lainnya?
Saya dapat membuat pandang bahwa kami tidak akan upaya hukum lain.
Jadi ini yang terakhir gitu ya?
Semestinya ada banding dan kesempatan kasasi. Itu kan kita akan lihat nanti. Tapi dalam konsep berpikir saya. Saya hanya ingin mendapatkan satu pertimbangan hukum. Tidak vonisnya.
Kalau pertimbangan hukum itu mulai ditemukan, diakui. Bahwa ini KPU telah onrechtmatige daad, Jadi itu tujuan kami. Sehingga kalau kita bicara hukum itu ada petita dan petitum. Tapi Kalau posita kami itu dianggap sesuai. Tapi harus kami jelas sekarang.
Ketika ujian disemisal atau ketika sidang disemisal. Itu kami diterima sehingga lanjut untuk dilakukan pokok perkara. Artinya apa? Tidak semua perkara masuk di PTUN itu diterima untuk dilanjutkan.
Sangat banyak ditolak. PDIP saya perhatikan ada beberapa kali juga disemisal. Tidak layak untuk dilanjutkan. Nah ini layak. Kalau kelayakan ini berkaitan dengan memang benar nantinya ada pengadilan. Ditemukan. Dua hal yang saya sampaikan tadi.
Memang itu pelanggaran oleh penyelenggara negara yang bernama KPU. Cukup itu bagi saya.
Jadi sebenarnya yang diperlukan oleh tim PDI, tim hukum PDI perjuangannya itu adalah apa nanti pertimbangan-pertimbangan hukum yang disampaikan oleh KPU?
Itu di utama. Kita tidak mau kalah menang atau tidak mungkin membatalkan keputusan MK. Tapi ada pandangan lain bagi masyarakat ini.
Bahwa terjadi beberapa dan banyak pelanggaran oleh KPU. Sebagai penjara negara dengan kekuasaannya. Jadi negara itu tidak boleh sewenang-wenang.
Prof. Saya ingin tahu pandangan Profesor Gayus mengenai keputusan MK. Yang konon ini, konon ini tidak pernah terjadi dalam keputusan Sengketa PHPU Pilpres. Itu ada disinting opinion. Tiga hakim?
Bukan tidak pernah terjadi di beberapa perkara. Disanding bahkan sampai 4 dan 4 ketika 9 hakimnya memimpin itu.
Tetapi yang ini saya harus mengatakan yang disinting itu orang yang kredibel di masyarakat terhadap keputusan MK. Hakim yang belum terlalu lama ya. Sebut saja beberapa hakim yang kita kenal memang pandangannya kredibel.
Itu kan sebenarnya yang menjadi persoalan. Kenapa yang hakim-hakim, tiga hakim seperti ini. Itu memiliki pikiran-pikiran yang dapat dipahami oleh masyarakat di dalam disintingnya.
Ini tinggi, 3 banding 5 ini. Akhirnya cuma 8. Jadi cukup tinggi. Tidak ada bidang satu suara saja sehingga ini bisa seimbang.
Maksud saya menjelaskan bahwa disinting opinion keputusan tentang hasil proses pemilu ini. Ini kan cuma hasil proses. Saya tidak mengakui proses pemilu selesai bagi saya.
Hitungan suara dari hasilnya, yes. Tapi dari pelajaran lain kan belum. Termasuk pelajaran aparaturnya.
Tahapan-tahapan pemilunya. Ada dua lembaga itu diatur undang-undang masing-masing. Merujuk ke PTUN Nah itu disending tempuh. Oleh karena disinting menjadi penting. Menjadi perhatian masyarakat. Ya saya katakan kredibel kan, ini tidak subjektif ya.
Tapi mengatakan seorang Saldi Isa kan satu tokoh masyarakat memang yang berpikir jernih. Yang berpikir independen bagi saya.
Prof, ini ada pendapat mengatakan ini PDI Perjuangan ini ngisroh saja. Berusaha untuk menghalang-halangi proses kenegaraan. Lalu dengan cara mengugat PTUN. Mempersoalkan Gibran Rakabuming. Jadi seolah-olah itu gak move on. Lalu ingin menghalang-halangi proses itu. Padahal Pak Prabowo setelah dinyatakan pemenanga, Sudah melakukan berbagai safari-safari. Bagaimana Pak?
Tentu pandangan masyarakat bisa bermacam-macam. Kecuali kami bisa dipersalahkan, tidak mau kalah.
Kalau sudah kalah. Kalau kami tidak mendasarkan hukum yang berlaku. Melakukan tindakan-tindakan tidak berhukum yang berlaku.
Kami berdasarkan undang-undang. Yang mengatur kalau terjadi tahapan yang salah. Kalau terjadi perbuatan yang salah oleh penyelenggara.
Ini diatur undang-undang. Jadi bagi saya, jangan disorbis, harus negatif. Tunggu hasilnya dan tunggulah opini kami yang lengkap di PTUN. (Tribun Network/ Yuda).