Saat Anggota Komisi I DPR Diberondong Pertanyaan Para Tokoh Pers Terkait Revisi UU Penyiaran
Jurnalis senior Wina Armada Sukardi menilai DPR mempunyai niat untuk mengesahkan RUU penyiaran tersebut sebelum masa jabatan mereka berakhir
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
"Begitu mudahnya derasnya informasi itu bergulir sehingga tidak ada penyaringan atau apapun. Jadi siaran-siaran terestrial, segala macam hal harus patuh di aturan KPI dan juga disensor, kadang-kadang orang berenang saja sampai sudah harus disensor," jawab dia.
"Lalu ketika nonton di Youtube atau lainnya, nyaris tidak ada sensor. Anak umur berapa saja bisa menonton macam-macam. Apakah itu paham-paham ideologi barat tentang LGBTQ segala macam itu bebas disaksikan oleh anak-anak kita sendiri. Itu salah satu semangat utama melakukan revisi," sambung dia.
Terkait dengan kemerdekaan pers, ia kembali menyatakan bahwa draf tersebut belum final dan pembahasan masih berlangsung di DPR.
Meskipun ia menangka adanya dugaan RUU tersebut dipaksakan, ia menegaskan tidak ada niatan dari Komisi I DPR RI untuk memberangus kemerdekaan pers.
"Tidak ada niatan kita dari kami untuk memberangus kebebasan tersebut sampai dengan itu bisa mengontrol pers akan kembali ke masa lampau, di mana itu bisanya pembredelan media, pencabutan izin segala macam, hal itu tidak akan terjadi," kata dia.
"Dan pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu pasti tidak akan terlaksana karena kita tujuannya adalah untuk bisa membuka akses informasi kepada seluruh masyarakat," sambung dia.
Menutup sesi tanya jawab dengan Dave tersebut, jurnalis senior sekaligus pakar di bidang hukum dan etika pers Wina Armada Sukardi menilai DPR mempunyai niat untuk mengesahkan RUU penyiaran tersebut sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 30 September tahun ini.
Untuk itu, menurutnya komunitas pers perlu melakukam perlawanan yang lebih gigih, masif, dan sistematik.
"Kita tanya, dijawab. Jawabannya itu tidak memberikan jawaban apa-apa. Dan itu harus ditafsirkan memang niat DPR untuk mengesahkan ini sebelum tanggal 30 dengan sebagian besar isinya ya seperti sekarang. Dengan kata lain perlawanan kita harus lebih gigih, lebih sistematik, dan lebih massif. Kira-kira begitu," kata dia.
"Kalau dibiarkan sudah pasti. Jawaban politikus kan begitu. 'Saya tidak pernah bilang tidak, saya tidak pernah bilang, saya hanya bilang kan akan ditampung, saya akan ini'. Itu artinya jawabannya, 'lu boleh ngomong apa aja, tapi yang gua jalanin lain lagi'. Lain di hati, lain di bibir," sambung dia.
Dewan Pers Menolak
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah ramai diperbincangkan.
Ia mengkritik penyusunan RUU Penyiaran karena tak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran.
"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," kata dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta pada Selasa (14/5/2024).
Selain itu, ia juga memandang RUU Penyiaran menyebabkan pers tidak merdeka, independen, serta tak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.
"Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen," kata dia.
Menurutnya, proses RUU Penyiaran menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yakni penyusunan sebuah regulasi yang harus meaning full patricipation.
"Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," kata dia.
Ia mengataka Dewan Pers dan konstituen juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.
Sementara secara substantif, ia menegaskan RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebab, lanjut dia, RUU Penyiaran mengatur larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.
"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," ungkap Ninik.
Kemudian, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran justru akan dilakukan lembaga yang tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik karya jurnalistik.
"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang," ungkap Ninik.
Ninik meminta agar penyusunan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan harmonisasi agar tidak tumpang tindih.
Terlebih, kata dia, pengaturan penyelesaian sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024.
"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" imbuh Ninik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.