6 Komentar Respons Amien Rais Usul Presiden Dipilih MPR, Elite Parpol Menolak, Tapi Sosok Ini Setuju
Usulan Ketua MPR RI periode 1999-2004 Amien Rais agar sistem pemilihan presiden dikembalikan ke MPR seperti sebelum era reformasi menuai pro & kontra.
Editor: Wahyu Aji
"Kalau di UU pemilu kita terbalik. Mereka yang melaporkan money politik bisa diancam money politik juga karena menerima amplop," katanya.
Oleh sebab itu, dirinya mengharapkan penyelesaian politik uang bukan hanya dengan pemilihan presiden dari MPR RI.
"Nah ini yang harus kita panjang kali lebar jadi tidak bisa kalau rumahnya bocor kita geser sofanya. Tapi gentengnya kita tidak perbaiki, jadi betul-betul seksama kita perhatikan," ucapnya.
4. PAN ajak untuk disempurnakan
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, juga menolak wacana amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR RI.
Ia menyatakan pemilihan langsung adalah bagian dari tradisi politik dan budaya demokrasi di Indonesia.
"Jika ada masalah, kendala, kurang sempurna, kita sempurnakan bersama-sama dengan parpol, pemerintah, dan seluruh kekuatan masyarakat," kata Viva kepada Tribunnews.com, Jumat.
Ia menganggap usulan pemilihan presiden lewat MPR biasa saja sebagai ide dan gagasan.
Menurutnya, melalui pemilihan langsung, prinsip-prinsip demokrasi bisa berjalan, seperti one person, one vote, one value.
"Satu orang, siapa pun dia, jabatan apa pun sekolahnya, stratifikasi sosial, punya hak yang sama sepanjang menjadi warga negara Indonesia yang didaftar di DPT," ujar Viva.
Ia membantah alasan politik uang bisa hilang apabila pemilihan presiden dikembalikan ke MPR.
"Tidak bisa begitu, justru mungkin saja akan semakin masif dan semakin besar karena jumlah pemilih semakin sedikit, sehingga mudah untuk dikordinasikan," ucapnya.
Viva menjelaskan bahwa pemilihan langsung merupakan bagian dari pengejawantahan kedaulatan rakyat.
Ia menegaskan apabila ada persoalan penyimpangan kekuasaan, politik uang, dan kendala teknis administratif, maka disempurnakan saja.
"Tetapi adanya kendala teknis itu tidak boleh menjadi alasan untuk merubah prinsip-prinsip demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan," ungkap Viva.
5. Golkar menolak
Partai Golkar menolak usulan sistem pemilihan presiden kembali dipilih oleh MPR RI.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono menegaskan, jika presiden kembali dipilih oleh MPR, demokrasi mengalami setback atau kemunduran.
"Mata itu ada di depan untuk menatap masa depan, kita itu maju terus kearah yang lebih baik, bukan berbalik lihat yang lampau," kata Dave saat dihubungi Tribunnews.com Jumat (7/6/2024).
Lagipula, menurut Dave, masih banyak hal yang harus diperbaiki, ketimbang harus mengembalikan sistem pemilihan presiden ke MPR RI.
"Masih banyak yang harus kita kerjakan demi masa depan yang lebih cerah," tandasnya.
6. Ketua DPD RI mengapresiasi
Ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD LaNyalla Mahmud Mattaliti menyampaikan apresiasi atas usulan Amien Rais.
Memurut LaNyalla Amien Rais telah memberikan penilaian jujur tentang imbas negatif amandemen konstitusi tersebut.
“Saya apresiasi Pak Amien Rais yang dengan jujur mengakui bahwa amandemen Konstitusi pada 1999-2002 telah kebablasan, sehingga Indonesia seperti tercerabut dari akar budayanya sendiri,” kata LaNyalla dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (6/6/2024).
DPD RI di bawah LaNyalla sejauh ini berupaya agar kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli.
Senator asal Surabaya itu mengusulkan amandemen UUD 45 dengan teknik addendum.
Menurut LaNyalla kembali menjalankan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa bukan berarti kembali ke Orde Baru. Karena, kata dia, baik Orde Lama maupun Orde Baru belum secara murni menjalankan rumusan para pendiri bangsa.
LaNyalla menuturkan Amerika melakukan amandemen 27 kali dengan addendum. Begitu juga India 104 kali dengan addendum. Sehingga tidak mengganti sistem bernegaranya.
Sedangkan Indonesia, amandemen 1999-2002 dilakukan dengan mengganti 95 persen lebih isi pasal-pasal dan menghapus bab penjelasan.
Sehingga sistem bernegara berganti dan tidak lagi derivatif (nyambung) dengan naskah pembukaan konstitusi.
Lebih runyam lagi amandemen saat itu tanpa disertai naskah akademik.
Bukti ini bisa dilihat dari kesimpulan yang disampaikan komisi konstitusi bentukan MPR sendiri, maupun pernyataan beberapa anggota MPR saat itu, termasuk yang belakangan viral video Khofifah Indar Parawansa yang saat itu menjadi anggota MPR dan mengakui bahwa amandemen saat itu tergesa-gesa dan tanpa kajian akademik.
“Jadi intinya tetap perlu dilakukan amandemen, tapi dengan addendum setelah kita kembali ke UUD 1945 naskah asli, karena memang konstitusi asli tersebut masih harus disempurnakan. Tentu selain dengan mengadopsi semangat reformasi, juga harus dilakukan penguatan peran kedaulatan rakyat yang hakiki,” ujar LaNyalla.