Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Urgensi Modernisasi Alutsista TNI AU di Tengah Eskalasi Konflik Laut China Selatan

Membangun Angkatan Udara membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Namun patut diingat, hal itu sepadan dengan "harga" yang diterima.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Urgensi Modernisasi Alutsista TNI AU di Tengah Eskalasi Konflik Laut China Selatan
Dok Warta Kota
Dua pesawat F-16 Fighting Falcon TNI AU. Membangun Angkatan Udara membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Namun patut diingat, hal itu sepadan dengan "harga" yang diterima. 

Rencana modernisasi sekaligus penguatan alutsista TNI AU ini juga direspons positif Analis Hubungan Internasional Rangga Deristaufani. Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kemhan, yang menyadari pentingnya pengadaan persenjataan baru, modern, dan canggih.

"Pembelian jet tempur Rafale, misalnya, bukan hanya dalam rangka memperkuat efek deteren, di mana perbandingan postur pertahanan udara RI masih jauh di bawah kekuatan Tiongkok, Amerika Serikat, bahkan Singapura, melainkan juga memberikan pesan bahwa RI tidak menganggap sepele kedaulatan wilayah udara RI di wilayah LCS/LNU (Laut Natuna Utara--Red)," katanya kepada Tribunnews.com, Kamis (20/6/2024).

Alumni Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI ini juga secara khusus juga menyoroti eskalasi yang terjadi di "teras depan" Indonesia tersebut.

Menurut Rangga, meskipun potensi yang dihadapi relatif Low Risk mengingat negara-negara claimant states di LCS/LNU tidak memiliki intention untuk bermusuhan apalagi berperang terbuka dengan Indonesia, namun postur dengan gap yang asimetris tersebut sangat rentan bagi Indonesia.

"Sehingga pengaadaan alutsista seperti jet tempur Rafale merupakan suatu kebijakan rasional dalam rangka meningkatkan alutsista tempur utama udara RI."

Selain itu, sambungnya, pembelian Rafale juga atas pertimbangan non teknis-diplomatis, di mana menegaskan posisi Indonesia dengan memilih produk buatan Perancis akan menghindarkan Indonesia dari sanksi AS yang dikenal dengan CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanction Act). Di sisi lain, juga mengisyaratkan netralitas terhadap Tiongkok.

Alustsista yang harus dimiliki TNI AU

Berita Rekomendasi

Lebih lanjut Rangga mengatakan, untuk merespon dinamika ancaman keamanan di wilayah LCS/LNU, TNI AU perlu memperkuat kapabilitas interoperabilitas (interoperability) dalam skema Network-Centric Warfare (NCW).

"Jelas sejumlah teknologi pertahanan sangat diperlukan dalam mengantisipasi dan mengimbangi kecanggihan teknologi militer negara-negara lain, termasuk pesawat tempur nirawak atau Unmanned Combat Aerial Vehicle atau UCAV," katanya.

Termasuk, sambungnya, radar-radar canggih yang mempunyai kemampuan menghadapi peperangan elektronika ECM (Electronic Counter Measure) bahkan mendeteksi rudal balistik.

"Radar-radar itu juga harus mampu menutup semua blind spot di seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagian tapi seluruh wilayah udara Indonesia. Selain itu, Interoperabilitas merupakan kata kunci yang penting, khususnya menyangkut sinkronisasi antar alutsista dan antara alutsista dengan markas komando dan kendali," katanya.

Apakah hanya alutsista?

Dalam catatan redaksi, sejauh ini, Indonesia telah menyegel kesepakatan pembelian pesawat tempur Rafale dari Prancis sebanyak 42 unit. Kontrak dengan Dassault untuk pembelian jet tempur "omnirole" itu ditandatangani pada Februari 2022.

Secara bertahap Indonesia memenuhi kewajiban administrasinya pada September 2022 dan Agustus 2023 masing-masing untuk enam dan 18 pesawat Rafale. Kini, semua tahap telah dinyatakan selesai.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas