Jamaah Islamiyah Benar-benar Bubar atau Hanya Berganti Kulit? Ini Penjelasan Lengkap Ustaz Abu Fatih
Benarkah Jamaah Islamiyah sudah benar-benar bubar atau pura-pura bubar, berganti kulit?
Editor: Dewi Agustina
Tapi kan Ustaz Abdullah Sungkar sudah melepas baiat atau pisah dengan NII. Akhirnya kan terbelah alumninya, ada yang ke NII ada yang ikut JI. Tak lama setelah itu Broto meninggal, dan karena saya sudah di luar, saya tidak ikut ngurus yang NII.
Saya mengurus di JI dan apa yang kita rintis muaskar ke Filipina, di Mindanao. Tapi tahap awal kita tidak memanfaatkan fasilitas itu. Kita tawarkan membantu tadrib mujahidin MILF dipimpinan Syekh Selamat Hasim. Waktu itu sampai tahun kedua, sudah meluluskan alumnus muaskar dan mujahidin sana sudah 1.500 sampai 2.000 muqotil atau petempur.
T : Saat pertama bertemu Ustaz Abdullah Sungkar, apa waktu itu dijelaskan detil organisasinya JI seperti apa, strukturnya dan lain-lain?
AF: Nggak, kan waktu itu ibaratnya masih embrio. Jadi yang di pusat ada 11 orang sebagai pencetus, saya bukan termasuk pencetus, tapi sebagai pelaksana di mantiqoh taniah mulai tahun kedua. Jadi baru masa itu ada yang terekrut ikhwan alumni pondok sekira 2.000. Dari dua ribu itulah modalnya yang kami olah dan kami sisir, mana jadi mualim, dai, murobi, mana yang tamqis atau penyeleksi.
T : Pengiriman ke Afghanistan apa masih berlangsung?
AF : Sudah tidak karena diputuskan kia tidak punya tempat. Tapi saya masih agak silap, waktu itu masih memelihara hubungan, masih menempatkan perwakilan tapi pengiriman sudah tidak.
T : Ada kontribusi peran keterlibatan mereka (mujahdin Afghanistan) ke kegiatan gerakan di Indonesia?
AF : Dalam perjalananya, saya lupa-lupa ingat apa 97 atau 98, saya memang dipanggil lagi oleh ustad Abdullah Sungkar ke Malaysia. Beliau memberitahu baru saja ziaroh menemui Syekh Usamah bin Ladin. Beliau mengatakan Syekh Usamah ingin bersama mujahidin Indonesia.
“Saya bersama anda, bersama harta dan jiwa kami. Kami punya 6.000 personil yang siap untuk bersama anda ke Indonesia. Ada senjata lengkap, pendanaan cukup, personal segitu jumlahnya.”( Abu Fatih mengutip kalimat Abdullah Sungkar).
Kan pada itu dalam perjalanannya telah mengembangkan jamaah, sudah ada 6.000an. Di Solo ini awalnya ada 1.000, tapi kita sudah punya binaan yang belum kita ambil baiatnya sekitar 10.000. Di Jatim, Jateng, Jakarta, Lampung berkembang, Kalau saya perkirakan ada 6.000 orang kader siap.
Kalau ada 6.000 dan ditambah 6.000 lagi dari Afghanistan, hadistnya mengatakan ini pasukan yang takkan terkalahkan. Sebenarnya sebelum pembicaraan itu sudah ada kiriman-kirman tapi tidak terbuka. Ada yang datang untuk alasan investasi.
Saya pernah diminta tolong mencari jika pabrik mesin, yang bisa diakuisisi. Itu pernah pada waktu itu. Belakangan saya baru tahu, Syekh Usamah itu sudah lama ingin masuk sini (Indonesia). Belakangan juga saya tahu bukan saya saja yang tahu. Hambali dan Muklhas mungkin tahu keinginan Syekh Usamah.
Mereka yang didatangkan untuk memeriksa keadaan ada dari Prancis, Spanyol, Saudi, Yaman, yang orientasinya masih tersembunyi. Ustad Abdullah Sungkar mengakhiri pertemuan dengan kalimat begini; “Semua tergantung antum (Ustad Anshori)”.
Saya jawab, ini perkara serius, beri kesempatan tiga bulan istiqarah, takbirul maidan atau orientasi teroritoral baik itu kewilayahan maupun demografis sampai pada persoalan spesial, utamanya pendaoat para ulama. Saya disilakan dan ustad (Abdullah Sungkar) menunggu jawabannya. Beliau menekankan saya harus menjawab karena ini serius.
Saya lalu pulang ke Sulawesi Selatan, istri saya memang orang Sulsel dan saya akrab dengan ulama-ulama Sulsel. Saya jumpai kalau tidak salah Kyai Sulaiman, Ustad Marzuki Hasan, Ayi Abdul Jaba Asiri, itu yang saya ingat. Tidak semua di Makassar, ada yang dekat Bulukumba sana.
Saya dekat karena dulu pernah diminta ulama di sana untuk membujuk orang-orang yang hendak melawan pemerintah sesudah peristiwa Tanjungpriok dan mereka lari naik ke gunung.
Saya diminta membujuk Agus Dwikarna dan kawan-kawan yang sudah dikepung RPKAD, agar dialog dengan mreka.
Saya naik motor bersama ustad Zaitun Rasmin (sekarang di MUI) sejauh 200 kilometer, guna membujuk mereka turun gunung.
Dialog dari jam 8 malam sampai 8 pagi, akhirnya kesepakatannya turun. Itu membuat hati orang-orang tua (ulama) di sana simpati ke saya.
Dari situ berkembang ke kasus kira-kira 97/98, bagaimana sekarang kalau kita jihad. Sekarang kita dapat investasi dari luar, kita bangun Daulah Islam di sini. Lalu mereka bilang, “nak, dulu kita pernah keliru, dengan NII kita pernah keliru. Apa kita mau mengulang kekeliruan itu lagi.
Beliau mengingatkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu didukung ulama, beribu-ribu istiqarah. Proklamasi juga terjadi di hari yang sangat tepat. Akan terjadi lagi hari yang sangat tepat seperti ini setelah 360 tahun ke depan. Itu kalimat-kalimat yang saya ingat.
T : Jadi kesimpulannya?
AF : Jadi ternyata tidak ada kesempatan, tidak memberi ruang. Lalu saya pulang ke Jawa. Ketemu teman, lupa namanya, tapi teman Mang Djaja (almarhum Kang Djaja NII Banten), dia membawa saya ke Pak Rais, ulama di Banten. Kemudian Pak Syukur, ulama juga. Ketemunya di Cikampek.
Habis itu saya diajak ke Tasik, maunya ke Ajengan Khoir, ketemunya sama Ajengan Yusuf kalo gak salah. Itu juga begitu, kalimatnya hampir sama. Dulu kita sudah pernah melakukan kehilafan, itu harus jadi pelajaran jangan sampai terulang.
Akhirnya saya kembali dan menjelaskan ke ustad Abdullah Sungkar, tidak ada ulama yang mendukung. Beliau tanya, antum yakin. Saya jawab, yakin ustad, bahkan kalimatnya jangan mengulang kesalahan yang lalu.
Kalau saya tanyanya ke ulama alim yang terjunnya ke bukan ulama lapangan, nantinya jatuhnya ke soal talak dan rujuk.
Akhirnya ya sudah, nanti saya sampaikan (ke Syekh Usama bin Ladin), kata beliau. Sejak kata disampaikan, saya merasa orang-orang yang dulu kliweran, dari Yaman dari Saudi dan lain-lain sudah ditarik kecuali satu yang tertangkap, Umar al Faruq (Umar al Faruq ditangkap intel BIN dan dideportasi ke tangan AS. Umar Faruq dikabarkan tewas di Irak).
T : Jadi penjajakan lapangan, diam-diam sudah ada (orang Usamah bin Ladin ) yang masuk?
AF : Iya, sudah penelitian dan kesimpulan mereka ternyata mereka menilai Indonesia itu medannya sangat eksotis untuk jihad. Di mana-mana untuk survival sangat memungkinkan. Ikan, tanaman, dan segalanya eksotis.
T: Respon Abdulah Sungkar?
AF : Saya melihat beliau biasa-biasa saja. Karena beliau selalu mengingatkan dirinya hanya seorang dai, dan mengaku tidak paham persoalan-persoalan jihad. Saya mengandalkan jihad itu antum-antum itu. Jadi tatkala sudah disampaikan, terkesan beliau biasa-biasa saja.
Cuma, itu kan ada semacam provokasi kepada ustad Abdullah Sungkar yang mengatakan Abu Farih itu orang yang tidak memiliki kapabiltas untuk urusan jihad. Sehingga didorong saya belajar jihad ke Filipina, terutama harus konsultasi sama Syekh Selamat Hasim.
T : Provokasi dari mana?
AF : Ya dari dalam, seperti dari Hambali, Muklas. Tapi kemudian setelah pulang, saya laporkan Syekh Salamat Hasim saja begitu sikapnya. Itulah saya menafsirkan sendiri, ustad Muklas dan Hambali itu geregetan. Wallahualam, itu tafsir saya sendiri ya.
T : Apa kemudian terjadi dengan JI karena rentetan pengeboman terjadi di Indonesia?
AF : Jadi begini, saya tidak bisa memungkiri ada keterlibatan anggota JI dalam peristiwa bombing itu. Tapi pertama, saya ndak bisa menjelaskan secara detil, karena terjadinya bombing itu saya sudah tidak aktif.
Kedua, menurut keyakinan saya itu tidak ada unsur disahkan oleh qiyadah (pimpinan) JI. Itu inisiatif, sebagaimana terbuka di pengadilan.
Cuma begini, di sisi lain kami merasa ibarat orang lahir dan kemudian tumbuh berkembang. JI masih sangat muda belia.
Dalam usia 10 tahun sudah dibebani overload. Sangat berat. Artinya kami tamqis personal untuk pemantapan, mengembangkan tandzim, masih sangat ringkih. Tiba-tiba terjadi krisis di Indonesia, moneter, ekonomi, kepemimpinan politik.
Sampai pada waktu itu saya termasuk yang diundang ke Jakarta (DDII) untuk menerima tamu dari Ambon, Brigjen Rustam Kastor. Seingat saya waktu itu mengenalkan sebagai Danrem Ambon.
Beliau menyampaikan pembantaian umat muslim sudah berlangsung satu tahun, kondisi seperti ini, pemerintah tak mampu menggerakkan alat negara karena tidak ada keuangan.
Maka kalau kaum muslim tak menggerakkan diri menolong saudaranya, ada dua kemungkinan, umat muslim timur habis dan RMS berdiri.
Karena dibentuklah laskar mujahidin dikirim ke sana. Ada orang-orang seperti Aep Saefudin, Jafar Umat Thalib, dan lain-lainnya.
Laskar Mujahid dikirim untuk memenuhi permintaan Rustam Kastor. Kemudian kami berpikir jauh, bagaimana mendampingi umat muslim di sana, mendampingi korban kekerasan, pemenuhan kebutuhan. Kami pernah bawa kurma sampai empat kontainer. Kami berpikir kirim ke sana.
Baru empat bulan, Pak Wiranto (Panglima TNI waktu itu) mendeklarasikan darurat sipil. Semua pendatang harus pulang. Kami putuskan pulang. Tapi kami tidak menutup mata ada di antara teman-teman itu tidak mau karena merasa belum ada gerakan apapun untuk bisa melindungi kaum muslimin. Tentu saja kami qiyadah tidak bisa memaksa.
T : Pengiriman mujahidin JI ke Ambon ini secara organisasi adalah perintah. Lalu bagaiman dengan aksi bombing itu, yang realitasnya pelakunya kemudian diketahui kader JI? Benarkah hanya inisiatif pribadi?
TF : Kira-kira begitu. Satu contoh begini. Suatu saat saya pergi ke Jakarta naik bus, sampai subuh. Saya langsung ke kantor yayasan, hari itu bersepakat dengan qoid wakalah Jakarta untuk menerima waqaf 6 hektare di Cianjur.
Saya datang dalam rangka itu. Tiba-tiba rumah itu dikepung tentara dan polisi. Yang nemui saya Pak RT. Dia tanya saya dari mana, kok pagi-pagi sekalai sudah sampai sini. Saya bilang saya datang ke sini untuk terima waqaf tanah di Cianjur.
Tatkala saya ke belakang, sama office boy kantor, dibisiki, ada yang terluka. Melakukan pengeboman (bom Atrium Senen). Saya tanya sudah dilapor Pak RT? Orangnya tadi lari ke sini. Siapa? Temen-temen dari Kramat Raya, namanya Sholahudin. Nah, itu saya terkejut, tidak tahu apa-apa. Lalu saya cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
T : Setelah JI membubarkan diri, lantas apa Langkah berikutnya? Ke mana orang-orang eks JI nantinya?
AF : Kalau kami prinsipnya begini, kita berjamaah itu niatnya ibadah. Dalam ibadah ada batasan-batasannya, ada yang sudah kita sadari. Kalaupun seperti jihad itu kita kuat, kemungkinan terjadinya kezalinan tetap ada, apalagi kalau kita lemah.
Karena itu setelah membubarkan diri, kita berpikirnya melakukan pendampingan. Apakah dengan ormas atau organisasi baru, atau jamaah baru, sekarang ini belum mau berpikir ke sana.
Tapi pertama, melakukan pendampingan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi seperti splinter (pembelot/penyimpang), itu yang kita antisipasi. Itu merugikan semua pihak. Percuma declare tapi ada splinter begitu.
Maka saya usulkan sosialisasi percepat. Yang saya kahwatirkan ini yang belum mendapat sentuhan sosialisasi. Pengalaman kita saat ini, sosialisasis cepat dan begitu banyak yang kemudian qobul islah, terbuka.
Kita berharap teman-teman menyadari hal itu. Apalagi setback dengan sejarah masa lalu, dan kita melihat ke depan. Saya kira islah ini akan baik bagi kami Bersama khususnya, dan juga bangsa Indonesia. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)