Lunaknya Kebijakan BPA di Indonesia: Perlindungan Konsumen atau Kepentingan Industri?
BPOM mewajibkan produsen AMDK untuk mencantumkan bahaya BPA pada kemasan air minum yang menggunakan plastik polikarbonat (PC).
Penulis: Yosephin Pasaribu
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
Lunaknya kebijakan di Indonesia tentu bertolak belakang dengan hasil temuan uji migrasi BPOM pada AMDK galon polikarbonat yang justru menghasilkan temuan yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan uji migrasi BPOM pada AMDK galon polikarbonat (PC) sepanjang tahun 2021-2022, ditemukan bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang dipatok BPOM: yakni 0,6 bpj (bagian per juta).
Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Kebijakan Indonesia yang sangat lunak terhadap penggunaan BPA sebenarnya tidak aneh, karena hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat.
Investigasi oleh surat kabar Washington Post pada 31 Mei 2009 mengungkapkan bahwa para pemimpin industri yang menggunakan BPA di AS berusaha keras agar produk mereka tidak diatur oleh pemerintah. Mereka menggunakan berbagai cara untuk melawan regulasi tersebut.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa lobi industri di AS sangat kuat. Meskipun ada lebih dari 100 penelitian yang menunjukkan bahaya BPA, Food and Drug Administration (FDA) masih belum mengatur penggunaan BPA. Mereka hanya mempertimbangkan dua penelitian yang mendukung BPA, yang diduga didanai oleh grup industri kimia yang tidak netral.