MK Tolak Gugatan Kader PPP soal Aturan Ambang Batas Parlemen di Pemilu
MK menolak gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu yang diajukan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terkait ambang batas parlemen.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu yang diajukan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terkait ambang batas parlemen.
Hal ini ditegaskan MK melalui Putusan Nomor 45/PUU-XXI/2024, yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo dalam persidangan, di Gedung MK, Jakarta, pada Selasa (30/7/2024).
Kader PPP bernama Didi Apriadi mempersoalkan aturan ambang batas parlemen dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, hakim konstitusi Arief Hidayat, menyatakan permohonan pemohon terkait konstitusionalitas Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 pada pokoknya memiliki dasar argumentasi yang dapat dikatakan tidak begitu berbeda dengan dasar argumentasi sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
Menurut Mahkamah, baik permohonan 45/PUU-XXI/2024 dan 116/PUU-XXI/2023 sama-sama berpendirian bahwa angka atau persentase ambang batas dalam norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Hakim MK Tak Setuju ‘Good Looking’ Tercantum di Persyaratan Lowongan Kerja
Perbedaan mendasar antara pemaknaan baru norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 dengan permohonan yang diajukan kader PPP ini adalah berkenaan dengan waktu pemberlakuan makna baru dimaksud.
Adapun putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 berlaku pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu-pemilu berikutnya.
Sedangkan, dalam permohonan 45, kader PPP selaku pemohon memohon kepada Mahkamah agar pemaknaan baru norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 seperti termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 tersebut mulai diberlakukan sejak hasil Pemilu 2024.
Selain itu, Arief mengatakan, berkenaan dengan penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu. Dalam hal ini terkait dengan total jumlah suara sah secara nasional, jumlah kursi DPR, sebagaimana didalilkan oleh pemohon.
Dengan demikian, Mahkamah menyatakan pada pokoknya norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 tetap konstitusional untuk menyelesaikan tahapan penyelenggaraan pemilu DPR 2024.
Namun demikian, untuk Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu berikutnya, harus dilakukan perubahan atas norma ambang batas parlemen dimaksud.
Selain itu, Arief turut menyampaikan, mengenai permohonan pemohon agar pemaknaan baru Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 atas Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 diberlakukan terhadap hasil Pemilu 2024, Mahkamah menegaskan bahwa pembentuk undang-undang memerlukan kajian yang komprehensif dengan menggunakan dasar metode dan argumentasi yang kuat untuk dapat menentukan keberadaan ambang batas parlemen dimaksud.
“Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup untuk membahas ambang batas parlemen sebagai bagian dari upaya mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Terlebih, Mahkamah tidak memiliki alasan yang kuat dan mendasar untuk bergeser dan berubah pendirian dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023," jelas Arief.
Lanjut mantan Ketua MK itu, seandainya Mahkamah memberlakukan norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 sesuai dengan pemaknaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 terhadap hasil Pemilu 2024, maka hal itu akan merusak prinsip kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Oleh sebab itu, Mahkamah menyatakan, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Arief.
Sebagai informasi, dalam permohonannya, Didi selaku kader PPP menekankan bahwa partainya meraih 5.878.777 suara sah secara nasional dalam Pemilu Anggota DPR RI 2024 atau setara dengan 3,87%.
Meski demikian, akibat berlakunya norma pasal yang mengatur batas perolehan suara atau parliamentary threshold paling sedikit 4 persen tersebut, jutaan suara yang telah dipercayakan kepada PPP menjadi sia-sia.