Pidato Kenegaraan Jokowi 2024, Setara Institute: Pidato Hambar di Akhir Masa Jabatan
Peneliti SETARA Institute menilai, paparan sederhana tidak cukup meyakinkan publik bahwa 10 tahun kepemimpinannya membawa perubahan signifikan.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah diselenggarakan pada hari Jumat, 16 Agustus 2024.
Pada rangkaian acara tersebut, telah disampaikan juga beberapa pidato sebagai pertanggungjawaban kinerja pembangunan pemerintahan periode 2019-2024 oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, dan Presiden RI, Joko Widodo.
Sebagai pidato terakhir di masa jabatan, setelah 10 tahun menjabat, seharusnya Presiden Jokowi dapat menyampaikan milestone dan lompatan-lompatan pencapaian bangsa dan negara Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
Azeem Marhendra Amedi, Peneliti SETARA Institute menilai, paparan sederhana tidak cukup meyakinkan publik bahwa 10 tahun kepemimpinannya membawa perubahan signifikan.
"Selain hanya fokus pada aspek pembangunan ekonomi, yang juga hambar dan tidak meyakinkan karena kondisi faktual daya beli masyarakat semakin menurun dan ancaman PHK di berbagai bidang, capaian kinerja ekonomi Jokowi juga tidak diimbangi dengan pengakuan hak-hak warga yang menjadi korban pembangunan," kata Azeem dalam keterangan yang diterima, Jumat (16/8/2024).
Menurutnya, Jokowi sama sekali tidak menyampaikan capaian di bidang pembangunan hukum, HAM dan demokrasi secara holistik, hanya menyebut keberhasilan membentuk KUHP.
"Gegap gempita gagasan di awal masa jabatan Jokowi terkait pembangunan manusia melalui kebijakan revolusi mental, sama sekali tidak diceritakan, sampai di titik mana lompatan itu dicapai. Pidato itu seperti gambaran kemunduran-kemunduran yang sebagiannya ditutupi dengan keberhasilan ekonomi," ujarnya.
Setara juga menyoroti ketiga pidato yang disampaikan oleh Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, dan Presiden RI, tidak mengangkat persoalan perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan Indeks HAM yang dirilis SETARA Institute dari 2019 hingga 2023, skor kinerja HAM nasional mengalami stagnasi dan tidak bisa naik lebih dari skor 3,3, yang tertinggi di tahun 2022.
Negara belum memiliki komitmen kuat dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang semestinya menjadi kewajiban konstitusional menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
"Terkait wacana MPR RI yang hendak menghidupkan kembali Haluan Negara dan MPR yang telah menyiapkan pokok-pokok Haluan Negara untuk memberikan arah pembangunan, wacana ini terus berulang dan gagal menyajikan urgensi dan dasar konstitusional memadai kepada publik," kata Azeem.
Dirinya menilai, MPR harus mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana penetapan Haluan Negara tersebut pada sistem hukum Indonesia, harmonisasi dan integrasinya pada sistem perencanaan pembangunan yang sudah ada, serta skema pertanggungjawabannya.
"Obsesi membentuk haluan negara ini berpotensi mengekang kekuasaan eksekutif dan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara," katanya.
Sementara dorongan pembangunan nasional dan daerah yang inklusif menurut pidato Ketua DPR RI patut diapresiasi sebagai komitmen yang coba dipenuhi pada pemerintahan periode 2019-2024 dan diharapkan dilanjutkan pada pemerintahan berikutnya.
"Pernyataan Puan Maharani menjadi bentuk pengakuan bahwa inklusivitas dan toleransi masih masih menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai. Data Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mencatat bahwa negara belum mampu menciptakan ekosistem toleransi dan inklusi. Pada 2023 saja masih tercatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran," katanya.
Ketua DPR RI juga menyoroti tentang semakin pentingnya ‘demokrasi deliberatif’, yang mengandaikan perlu adanya ruang perjumpaan substantif antara pemangku kebijakan dengan rakyat yang diwakilkan agar terjadinya komunikasi dan pencapaian persetujuan mengenai suatu isu.
Oleh karena itu, perlu adanya dorongan lebih mengenai dibukanya partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pengambilan kebijakan secara luas, sehingga muncul deliberasi yang resiprokal dan berorientasi pada pencapaian konsensus atau mufakat.
Baca juga: Video Jokowi Pidato Kenegaraan Terakhir, Sampaikan Hal Ini ke Prabowo Subianto
Setara menilai, pada aspek pembangun hukum, HAM dan demokrasi, penting bagi pemerintahan selanjutnya mempertimbangkan aspek demokrasi konstitusional dalam pemajuan bangsa dan negara, yang dapat dilakukan dengan prioritas mendorong pembangunan dan tata kelola pemerintahan inklusif; membentuk ekosistem toleransi bagi seluruh kalangan masyarakat; pengarusutamaan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam setiap aspek pemerintahan; perluasan partisipasi bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan penguatan penegakan hukum yang demokratis.