Ekonom UI: Potensi Kriminalisasi Akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP Picu Kekhawatiran Investor
KPK tengah menyelidiki proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry Persero.
Editor: Dodi Esvandi
Menanggapi kasus itu, ekonom dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Fithra Faisal Hastiadi menilai ada potensi kriminalisasi dalam kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry ini.
Hal itu dinilainya bisa menimbulkan kekhawatiran bagi investor lokal dan internasional.
Padahal menurut Fithra, pemerintah dan pemangku kepentingan harus memastikan penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi dilakukan transparan dan berbasis bukti, sebagai upaya meningkatkan investasi di Indonesia.
Baca juga: Penjelasan ASDP Soal Akuisisi PT Jembatan Nusantara
“Permasalahannya ketika ASDP sudah mengikuti prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang ketat sesuai standar dan transparan, masih dituduh koruptif. Itu menjadi satu variabel ketidakkonsistenan dan juga ketidakjelasan dalam memaknai peraturan dan standarisasi. Itu yang kemudian menjadi hantu bagi para investor untuk masuk Indonesia,” kata Fithra dalam diskusi terbatas di Universitas Indonesia, Kamis (12/9/2024).
“Akuisisi perusahaan PT Jembatan Nusantara guna memperkuat valuasi BUMN ASDP saat IPO. Langkah tersebut cukup strategis. Jika tujuan strategi bisnisnya untuk mendapatkan pendanaan langsung dari pasar melalui IPO, hal tersebut sudah sepatutnya dilakukan,” katanya.
"Proses tersebut sesuai dengan standar sehingga harus transparan. Bila tidak sesuai sudah pasti akan tertolak di BEI,” kata Fithra.
Belum ada penjelasan rinci mengenai dasar perhitungan KPK dalam menyebutkan kerugian negara, terutama mengingat bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memvalidasi investasi ASDP.
“Sebenarnya yang dibutuhkan investor itu transparansi dan konsistensi. Kalau tuduhannya korupsi, harus ada dokumen yang jelas dan bisa dijadikan referensi. Semakin tidak transparan maka menjadi hambatan bagi para investor untuk masuk ke Indonesia, karena hal itu akan memberikan sinyal negatif kepada iklim bisnis dan investasi di Indonesia,” kata Fithra.
Fithra menyebut konsistensi juga menjadi masalah di kasus akuisisi JN oleh ASDP.
Bukan masalah korupsinya, tapi transparansi dan konsistensi.
Baca juga: KPK Ungkap Nilai Proyek ASDP yang Dikorupsi terkait Kerja Sama PT Jembatan Nusantara Capai Rp 1,3 T
"Sehingga ketika KPK tidak transparan, dan KPK merujuk kasus tertentu adalah tersandung korupsi, padahal referensinya itu juga belum jelas, maka akan menjadi kekhawatiran bagi investor masuk Indonesia. Bisa jadi ketika investasi masuk, kemudian dia sudah patuh, sudah transparan sesuai peraturan, tiba-tiba out of the blue ada tuduhan korupsi, padahal referensinya yang menjadikan acuan bagi tuduhan tersebut tidak ada, yang bisa dibilang sangat minim sekali karena dari dokumen-dokumen yang ada misalnya itu tidak menunjukkan kasus tersebut indikasi korupsi; ini adalah masalah transparansinya dalam penindakan korupsinya,” katanya.
Fithra sendiri menilai langkah ASDP sudah sesuai peraturan dan standar.
Apalagi ketika melibatkan lembaga internasional.
Sehingga ketika ada tuduhan koruptif terkait dengan proses yang seharusnya sudah transparan tersebut, itu akan menjadi masalah.
"Jadi ini sebenarnya bukan korupsinya, tapi konsistensi kebijakan dan transparansi. Bukan masalah korupsi. Kalau memang korupsi, maka jelas dokumennya yang dirujuk mana, terus kemudian prosesnya juga seperti apa,” katanya.