Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sistem Peradilan di Indonesia Disorot, Komisi Yudisial Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas

Mukti mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Sistem Peradilan di Indonesia Disorot, Komisi Yudisial Minta Hakim dan Jaksa Jaga Integritas
kai.or.id
Ilustrasi. Komisioner Komisi Yudisial Mukti Fajar mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan. 

Terakhir, kasus ini juga menjebloskan Zarof Ricar, mantan pejabat MA, yang diduga menjadi makelar kasus di MA. Zarof saat ini juga menjadi buah bibir karena memproduseri film Sang Pengadil yang kini sedang tayang. Film itu bercerita tentang hakim yang berusaha idealis dalam menjalankan pekerjaannya.

Sebelumnya, pada Juli lalu, tiga orang hakim dari Pengadilan Negeri Lubuk Linggau dilaporkan ke Komisi Yudisial karena dianggap tidak mengindahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956, bahwa kasus perkara pidana tidak dapat diputus sebelum kasus perdatanya diselesaikan.

Kini, PN Lubuk Linggau kembali mendapat sorotan karena dalam sidang eksepsi terhadap terdakwa atas nama Bagio Wilujeng dan Djoko Purnomo dianggap tidak mengindahkan kaidah yang terdapat pada pasal 84 ayat 1 KUHAP.

“Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada surat pelimpahan perkara hanya menyebutkan Serayu dan Palembang yang menjadi ‘locus delicti’. Sementara itu, jika ditinjau dari pasal 84 ayat 2, keberadaan saksi dan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi kewenangan pengadilan,” kata Satria Nararya, pengacara Bagio dan Djoko. 

Ia membeberkan bahwa pada tahap penyelidikan ataupun penyidikan itu di dalam surat panggilan terhadap Bagio dan Joko dugaan tindak pidana diduga dilakukan di Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin itu yang pertama. Tapi anehnya, penyidik dan jaksa penuntut umum melakukan pelimpahan ke Pengadilan Negeri Lubuk Linggau. 

Pada kesempatan terpisah, Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Dr. Barita Simanjuntak turut merespons polemik ini. Menurutnya, keberatan soal kompetensi pelimpahan pengadilan itu memang dimungkinkan.

“Para pihak yang merasa keberatan itu berhak mengajukan penolakan atau merasa bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili,” katanya. 

Berita Rekomendasi

Meski demikian, Barita juga menegaskan bahwa pengadilan tentu punya pertimbangan. “Itu dibenarkan oleh undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk mengikuti atau tidak menyetujui proses pemindahan satu perkara dari pengadilan yang berwenang mengadili,” ucapnya. 

Lalu bagaimana jika pihak salah satu yang berperkara tetap keberatan? Menurut Barita hal itu masih memungkinkan diajukan eksepsi.

“Semua ada dalam Sistem Peradilan Pidana kita yang diatur di dalam KUHAP," ujarnya.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas